Powered By Blogger

Minggu, 03 Juli 2011

JENIS-JENIS TAREKAT DAN AJARANNYA



A. Pendahuluan
Tarekat merupakan cara bagi orang-orang yang menjalankan laku mistis atau tasawuf untuk mencapai tujuan utamanya, yakni memperoleh cita-cita ma’rifat pada alam ghaib dan mendapatkan penghayatan langsung pada zat allah atau Al-haq.
Pada dasarnya tarekat dunia tasawuf tidak terbatas jumlahnya karena setiap manusia mencari dan merintis jalan sesuai dengan kemampuan ataupun taraf kesucian hatinya masing-masing.
Oleh karenanya tidak mengherankan jika banyak dijumpai berbagai jenis tarekat dalam dunia tasawuf.

B. Pengertian Tarekat
Secara etimologi pengertian tarekat berasal dari bahasa arab “ thariq" yang berarti jalan, cara, keadaan, haluan, aliran pada garis sesuatu. Sedangkan menurut istilah tarekat ialah perjalanan seorang slidik (pengikut tarekat) manuju tuhan dengan cara menyucikan diri. Dengan kata lain tarekat ialah perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Syarat utama yang perlu diperhatikan oleh pengikut tarekat ialah untuk mendekatkan diri pada Tuhan, tidak dibenarkan meninggalkan syari’ah. Untuk itu setiap pengikut tarekat harus dibimbing oleh Syekh Mursyid (pembimbing) yang bertanggungjawab.
Sebaliknya para murid tarekat harus senantiasa berlaku zuhud, tawadhu, banyak berzikir, berwirid dan berdo’a, disamping mengamalkan syariat yang benar agar segalanya dapat terkendali pengikut tarekat. Metode semula dipergunakan oleh seorang sufi besar dan kemudian diikuti oleh murid-muridnya sebagaimana halnya mazhab-mazhab dalam bidang fiqh dan firqah dalam bidang kalam. Tarekat merupakan gerakan kesufian popular sebagai bentuk terakhir gerakan tasawuf tampaknya tidak juga tidak begitu muncul.
Jadi yang dimaksud dengan tarekat ialah suatu system dan cara-cara beramal dari irsyad (pembimbing) seorang guru terhadap murid-muridnya yang mengikat dalam suatu mazhab tertentu yang pada dasarnya untuk menjalankan sunnah Rasulullah saw secara optimal dan sungguh-sungguh.

C. Jenis-jenis Tarekat dan Ajarannya
1 Tarekat Khalawatiyah
Tarekat khalawatiyah didirikan oleh Abdul Qodir Suhrawardi dan Umar Suhrawardi. Tarekat ini membagi manusia menjadi tujuh tingkatan yaitu:
a. Manusia yang berada dalam nafsul ammarah
Seperti jahil, kikir, sombong, gemar kepada kejahatan dan dipengaruhi syahwat dan sifat-sifat tercela lainnya.
b. Manusia yang berada dalan nafsul lawwamah
Maksudnya mereka yang gemar meninggalkan perbuatan buruk, dan berbuat saleh tetapi suka bemegah-megahan.
c. Manusia yang berada dalam nafsul mulhamah.
d. Manusia yang berada dalam nafsul muthma’innah.
e. Manusia yang berada dalam nafsul radhiyah.
f. Manusia yang berada dalam nafsulmardiyah.
g. Manusia yang berada dalam nafsulkamillah.
Tarekat khalawatiyah ini mengajarka ajaran spiritual yang merupakan gabungan berbagai tekhnik spiritual lainnya.
2 Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri tarekat naqsyabandiyah ini adalah Muhammad bin Baha’uddin Al-huawaisi Al-Bukhari (717-791 H). Naqsyabandiyah ini mempunyai arti yaitu lukisan, karena ia ahli dalam memberikan gambaran kehidupan yang ghaib-ghaib.
Tarekat naqsyabandiyah ini mengajarkan cara berdo’a, baca al-qur’an dan berzikir-zikir yang sangat sederhana. Namun tarekat ini lebih mengutamakan zikir dalam hati daripada zikir dengan lisan.
Ada enam dasar yang dipakai sebagai pegangan untuk mencapai tujuan Dallam tarekat ini, yaitu:

a. Taubat
b. Uzla
c. Zuhud
d. Takwa
e. Qona’ah dan
f. Taslim.
Hukum yang dijadikan dalam tarekat ini ada enam, yaitu:
a. Zikir
b. Meninggalkan hawa nafsu
c. Meninggalkan kesenangan duniawi
d. Melaksanakan ajaran agama dengan sungguh-sungguh
e. Berbuat baik kepada makhluk Allah
f. Mengerjakan amal kebaikan.
3 Tarekat Qadiriyah
Tarekat qadariyah ialah tarekat yang pertama yang disebut dengan sumber-sumber pribumi. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani, seorang ulama yang zahid. Ia mempunyai sekolah untuk melakukan suluk dan latihan-latihan kesufian di Baghdad.. Sejak kecil Syekh Jailani adalah anak yang berbakti pada orang tua, jujur, gemar belajar, dan beramal serta menyayangi fakir miskin dan selalu menjauh dari hal-hal yang bersifat maksiat.
Tarekat ini mengamalkandan mengajarkan zikir dan wirid tertentu, dan mengajarkan cara mengatur nafas pada waktu berzikir. Ajaran ini merupakan adaptasi dari teori emanasi yang tidak lama kemudian sangat popular di Indonesia.
4 Tarekat Rifa’iyah
Tarekat rifa’iyah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Ali Al-Rifa’I (1106-500 H). Ciri khas tarekat Rifaiyah adalah pelaksanaan zikirnya yang dilakukan bersama-sama diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukan sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan.

5 Tarekat Sammaniyah
Kemunculan tarekat ini bermula dari kegiatan Syekh Muhammad Saman, seorang guru mahsyur yang mengajarkan tarekat di Madinah. Banyak orang Indonesia yang pergi kesana untuk mengikuti pengajarannya. Sebagai guru besar tasawuf, syekh Muhammad Saman terkenal akan kesalehannya, kezuhudan, dan kekeramatannya.
Tarekat sammaniyah ini juga mewiridkan bacaan zikir yang biasanya dilakukan secara bersama-sama pada malam jum’at di masjid dan mushalla sampai tengah malam. Selain itu ibadah yang diamalkan oleh syekh yang diikuti oleh murid-muridnya sebagai tarekat antara lain sholat sunat asyraq dua raka’at, sholat sunnah dhuha, memperbanyak rhiadhah, dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.
6 Tarekat Syaziliyah
Pendiri tarekat syaziliyah adalah Abdul Hasan Ali Asy;Syazili, seorang ulama dan sufi besar. Ia dilahirkan pada 573 H disuatu desa kecil di kawasan Maghribi. Ali Syazali sangat saleh dan alim. Tutur katanya enak didengar dan mengandung kedalaman makna. Bahkan bentuk tubuhnya dan wajahnya mencerminkan keimanan dan keikhlasan. Pengikut tarekat ini sangat luar biasa banyaknya.
Tarekat syaziliyah merupakan tarekat yang paling mudah pengamalannya. Dengan kata lain tidak membebani syarat-syarat yang berat kepada syekh tarekat seperti di bawah ini:
a. Meninggalkan segala perbuatan maksiat
b. Memelihara segala ibadah wajib
c. Menunaikan ibadah-ibadah sunnah
d. Zikir kepada Allah SWT sebanyak mungkin
e. Membaca shalawat.
7 Tarekat Tijaniyah
Pendiri tarekat Tijaniyah ialah Abdul Abbas bin Muhammad bin Muchtar At-Tijani (1737-1738), seorang ulama Algeria yang lahir di ‘Ain Mahdi. Keistimewaannya adalah ketika berumur 7 tahun ia sudah menghafal Al-Qur’an, kemudian mempelajari pengetahuan islam yang lain, sehingga ia menjadi guru dalam usia belia.
Pendiri tarekat ini telah mempelajari rahasia-rahasia bathin, bahkan dalam keadaan terjaga ia bertemu dengan Muhammad saw yang mengajarkannya wirid, istighfar, dan shalawat.
Wirid-wirid yang diajarkan tarekat tijaniyah sangat sederhana seperti istighfar, shalawat, tahlil. Semua wirid tersebut boleh diamalkan dua waktu sehari.

D. Kesimpulan
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa tarekat ialah suatu system dan cara-cara beramal dari irsyad seorang guru terhadap muridnya yang mengikat dalam suatu mazhab tertentu yang pada dasarnya untuk menjalankan sunnah Rasulullah saw secara optimal dan sungguh-sungguh.
Syarat utama yang perlu diperhatikan oleh pengikut tarekat ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Setiap pengikut tarekat harus dibimbing olea Syekh Mursyid yang bertanggungjawab.
Jenis-jenis tarekat ada tujuh, yaitu:
1) Tarekat Khalawatiyah
2) Tarekat Naqsyabandiyah
3) Tarekat Qadiriyah
4) Tarekat Rifa’iyah
5) Tarekat Sammaniyah
6) Tarekat Syaziliyah
7) Tarekat Tijaniyah

DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri Basyir, Ilmu Tasawuf, Yayasan Pena Banda Aceh, Bandung: 2005
Prof. Dr. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007
Prof. Dr. Abu Su’ud, Islamologi, PT. Rineka Cipta, Jakarta: 2003
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadhani, Solo: 1993
Fadhullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf , PT. Lentera Basritama, Jakarta: 2001

Jumat, 24 Juni 2011

HUBUNGAN PEMERINTAHAN PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DARI ASPEK URUSAN DAN KEWENANGAN (DALAM KORIDOR UU NO.32 TAHUN 2004)



I. LANDASAN TEORI
Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi NKRI. Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai desentralisasi. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat Negara. Artinya, kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan regional atau lokal. Sementara itu nilai dasar desentralisasi diwujudkan dengan pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan atau diakui Sebagai domain rumah tangga daerah otonom tersebut.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan pola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini karena dalam penyelenggaraan desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-¬bagian tertentu urusan pemerintahan.
Sesuai UUD 1945, karena Indonesia adalah "Eenheidstaat", maka di dalam lingkungannya tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat staat juga. Ini berarti bahwa sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara. Dengan demikian pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki cirri-ciri :
a. Daerah Otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal.
b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atas urusan pemerintahan.
c. Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada butir b tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Dengan demikian jelaslah bahwa desentralisasi merupakan instrumen untuk mencapai tujuan bernegara dalam kerangka kesatuan bangsa (national unity) yang demokratis (democratic government). Dalam konteks UUD 1945, selalu harus diperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk menyelenggarakan desentralisasi dengan kebutuhan memperkuat kesatuan nasional. Oleh sebab itu ciri umum penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia sesuai dengan UUD 1945 adalah :
1. Pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan oleh Pemerintah, bahkan dapat dihapus oleh Pemerintah melalui proses hukum apabila daerah tidak mampu menjalankan otonominya setelah melalui fasilitasi pemberdayaan.
2. Dalam rangka desentralisasi, di wilayah Indonesia dibentuk Provinsi dan di wilayah Provinsi dibentuk Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom.
3. Sebagai konsekuensi ciri butir 1 dan 2, maka kebijakan desentralisasi disusun dan dirumuskan oleh Pemerintah, sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan melibatkan masyarakat sebagai cerminan pemerintahan yang demokratis.
4. Hubungan antara pemerintah daerah otonom dengan pemerintah nasional (Pusat) adalah bersifat tergantung (dependent) dan bawahan (subordinate). Hal ini berbeda dengan hubungan antara pemerintah negara bagian dengan pemerintah federal yang menganut prinsip federalisme, yang sifatnya independent dan koordinatif.
5. Penyelenggaraan desentralisasi menuntut persebaran urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi Lembaga Negara yang membidangi legislatif atau lembaga pembentuk Undang-Undang dan yudikatif ataupun lembaga Negara yang berwenang mengawasi keuangan Negara. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang di desentralisasikan menjadi kewenangan Kepala Daerah dan DPRD untuk melaksanakannya sesuai dengan mandat yang diberikan rakyat.
Persebaran urusan pemerintahan ini memiliki dua prinsip pokok :
a) Selalu terdapat urusan pemerintahan yang umumnya secara universal tidak dapat diserahkan kepada daerah karena menyangkut kepentingan kelangsungan hidup bangsa dan negara seperti urusan pertahanan-keamanan, politik luar negeri, moneter, dan peradilan.
b) Tidak ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah. Untuk urusan¬-urusan pemerintahan yang berkaitan kepentingan lokal, regional dan nasional dilaksanakan secara bersama (concurrent). Ini berarti ada bagian-bagian dari urusan pemerintahan tertentu yang dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, ada bagian-bagian yang diselenggarakan oleh Provinsi dan bahkan ada juga yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Diperlukan adanya hubungan koordinasi antar tingkatan pemerintahan agar urusan-urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dapat terselenggara secara optimal.
Mengingat urusan pemerintahan bersifat dinamis maka dalam penyerahan urusan pemerintahan tersebut selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Untuk menjamin kepastian, perubahan-perubahan tersebut perlu didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu selalu ada dinamika dalam distribusi urusan pemerintahan (inter-governmental function sharing) antar tingkatan pemerintahan Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat.
Secara universal terdapat dua pola besar dalam merumuskan distribusi urusan pemerintahan, yakni :
1) pola-general competence (otonomi luas) dan
2) pola ultra vires (otonomi terbatas).
Dalam pola otonomi luas dirumuskan bahwa urusan-urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam prinsip Ultra Vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pusat.
Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah Provinsi dipimpin oleh Kepala Daerah Provinsi yang disebut Gubernur yang juga bertindak sebagai wakil Pusat di Daerah. Sebagai wakil Pemerintah di Daerah, Gubernur melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) terhadap Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya agar otonomi daerah Kabupaten/Kota tersebut bisa berjalan secara optimal. Sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur juga melaksanakan urusan-urusan nasional yang tidak termasuk dalam otonomi daerah dan tidak termasuk urusan instansi vertikal di wilayah Provinsi yang bersangkutan. Disamping itu, sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur mempunyai peranan selaku "Integrated Field Administration" yang berwenang mengkoordinir semua instansi vertikal yang ada di Provinsi yang bersangkutan disamping melakukan supervisi dan fasilitasi terhadap Kabupaten/ Kota yang ada di wilayahnya. Gubernur mempunyai "Tutelage Power" yaitu menjalankan kewenangan Pusat untuk membatalkan kebijakan Daerah bawahannya yang bertentangan dengan kepentingan umum ataupun peraturan perundangan yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut maka diperlukan pengaturan yang sistematis yang menggambarkan adanya kewenangan Gubernur yang berkaitan dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan.
Selain urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara sentralisasi, terdapat urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara desentralisasi. Desentralisasi dalam arti lugs dapat dilakukan secara devolusi, dekonsentrasi, privatisasi dan delegasi (Rondinelli & Cheema, 1983). Pemahaman devolusi di Indonesia mengacu kepada desentralisasi sedangkan delegasi terkait dengan pembentukan lembaga semi pemerintah (Quasi Government Organisation/Quango) yang mendapatkan delegasi Pemerintah untuk mengerjakan suatu urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah. Lembaga yang terbentuk berdasarkan prinsip delegasi dapat berbentuk Badan Otorita, Badan Usaha Milik Negara, Batan, LEN, Bakosurtanal. Dalam konsep otonomi luas, maka urusan pemerintahan yang tersisa di Daerah (residual functions) atau Tugas Pemerintah lainnya yang belum ditangani dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Hal inilah yang sering dikelompokkan dalam pelaksanaan azas vrisj bestuur. Vrisj Bestuur yang bersifat lintas Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Propinsi sedangkan yang lokal menjadi kewenangan Kabupaten/ Kota. Konsep privatisasi berimplikasi pada dilaksanakannya sebagian fungsi-fungsi yang sebelumnya merupakan kewenangan Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah oleh pihak swasta. Variant lainnya dari privatisasi adalah terbukanya kemungkinan kemitraan (partnership) antara pihak Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan pihak swasta dalam bentuk Built Operate Own (BOO), Built Operate Transfer (BOT), management contracting out.
Penyelenggaraan tugas pembantuan (Medebewind) diwujudkan dalam bentuk penugasan oleh pemerintah pusat kepada Daerah atau Desa atau oleh Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan Desa untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan. Pembiayaan dan dukungan sarana diberikan oleh yang menugaskan sedangkan yang menerima penugasan wajib untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas tersebut kepada yang menugaskan.
Penyelenggaraan Pemerintahan Nasional dilaksanakan oleh Departemen dan Kementrian Negara serta LPND. Untuk melaksanakan kewenangan Pusat di Daerah digunakan alas dekonsentrasi yang dilaksanakan oleh instansi vertikal balk yang wilayah yurisdiksinya mencakup satu wilayah kerja daerah otonom maupun mencakup beberapa wilayah kerja daerah otonom seperti adanya KODAM, POLDA, Kejaksaan, Badan Otorita Pusat di Daerah dan lain-lainnya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD yang bekerja atas dasar kemitraan dan bukan membawahkan satu sama lainnya. Dalam menyusun dan merumuskan kebijakan daerah, kedua institusi tersebut bekerjasama dengan semangat kemitraan. Namun pada saat pelaksanaan (implementasi), kedua institusi memiliki fungsi yang berbeda. Kepala Daerah melaksanakan kebijakan Daerah dan DPRD melakukan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan daerah. Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) diadopsi prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif, efisien, transparan, demokratis, partisipatif, dan akuntabel. Oleh sebab itu hubungan antar Kepala Daerah, DPRD, dan masyarakat daerah dalam rangka checks and balances menjadi kebutuhan mutlak.
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi salah satu ciri penting pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini karena karakteristik sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia yang sangat beragam dari satu daerah dengan daerah yang lain. Sebagai perwujudan nilai dasar konstitusi maka diperlukan pengaturan tentang pembagian hasil atas pengelolaan sumber daya alam, buatan maupun atas basil kegiatan perekonomian lainnya yang intinya untuk memperlancar pelaksanaan otonomi daerah, dan pada saat yang sama memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik sebagai refleksi dari proses demokratisasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal yang pada gilirannya secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan kesejahteraan akan memposisikan Pemda sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pelayanan yang disediakan Pemda kepada masyarakat ada yang bersifat regulative (public regulations) seperti mewajibkan penduduk untuk mempunyai KTP, KK, IMB dan sebagainya. Sedangkan bentuk pelayanan lainnya adalah yang bersifat penyediaan public goods yaitu barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumah sakit, terminal dan sebagainya. Apapun barang dan regulasi yang disediakan oleh Pemda haruslah menjawab kebutuhan riil warganya. Tanpa itu, Pemda akan kesulitan dalam memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah diberikan warga kepada Pemda untuk mengatur dan mengurus masyarakat. Untuk itulah maka seluas apapun otonomi atau kewenangan yang dilaksanakan oleh Daerah, kewenangan itu tetap ada batas--batasnya, yaitu rambu-rambu berupa pedoman dan arahan, serta kendali dari Pemerintah, balk berupa UU, PP, atau kebijakan lainnya.
Disamping itu haruslah kewenangan tersebut berkorelasi dengan kebutuhan masyarakat. Kewenangan tersebut yang memungkinkan Daerah mampu memberikan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Argumen inilah yang menjadi dasar kenapa urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dikelompokkan menjadi dua yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib berkorelasi dengan penyediaan pelayanan dasar dan urusan pilihan terkait dengan pengembangan potensi unggulan yang menjadi kekhasan daerah yang bersangkutan.
Dari tujuan demokratisasi dan kesejahteraan diatas, maka misi utama dari keberadaan Pemda adalah bagaimana mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektip, efisien dan ekonomis serta melalui cara-cara yang demokratis. Untuk mampu menyediakan pelayanan publik yang optimal dan mempunyai kepastian maka untuk penyediaan pelayanan dasar diperlukan adanya Standard Pelayanan Minimum (SPM). SPM yang menjadi "benchmark" bagi Pemda dalam mengatur aspek kelembagaan, personil, keuangan, dan mengukur kinerja dalam penyediaan pelayanan publik. Sisi demokratisasi pada Pemda berimplikasi bahwa Pemda dijalankan oleh masyarakat daerah sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis. Dalam menjalankan misinya untuk mensejahterakan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta mengagregasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam kebijakan-kebijakan publik di tingkat lokal. Namun kebijakan publik di tingkat lokal tidak boleh bertentangan dengan kebijakan publik nasional dan diselenggarakan dalam koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang berlaku pada negara dan bangsa tersebut.

II. HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat dilihat dari Adanya hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Peran Pusat dalam kerangka otonomi Daerah akan banyak bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity building) agar Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standard dan prosedur yang ditentukan Pusat.

III. HUBUNGAN DAN DISTRIBUSI KEWENANGAN
Daerah Otonom diberi wewenang untuk mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Seluas apapun Otonomi Daerah, tetap ada dalam batas dan ruang lingkup wewenang Pemerintah. Pemerintah Pusat yang mengatur hubungan antara Pusat dan Daerah yang dituangkan dalam Peraturan Perundangan yang bersifat mengikat kedua belah pihak. Namun dalam pengaturan hubungan tersebut haruslah memperhatikan aspirasi Daerah sehingga tercipta sinerji antara kepentingan Pusat dan Daerah. Agar terwujud distribusi kewenangan mengelola urusan pemerintahan yang efisien dan efektip antar tingkatan pemerintahan, maka distribusi kewenangan mengacu pada kriteria sebagai berikut:
a) Externalitas: unit pemerintahan yang terkena dampak langsung dari pelaksanaan suatu urusan pemerintahan, mempunyai kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan tersebut.
b) Akuntabilitas: unit pemerintahan yang berwenang mengurus suatu urusan pemerintahan adalah unit pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan urusan tersebut. Ini terkait dengan pertanggung jawaban (akuntabilitas) dari pengelolaan urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat yang menerima dampak langsung dari urusan tersebut. Urusan lokal akan menjadi kewajiban Kabupaten/ Kota untuk mempertanggung jawabkan dampaknya. Urusan yang berdampak regional akan menjadi tanggung jawab Provinsi dan urusan yang berdampak nasional akan menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
c) Efisiensi: pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan rakyat.
Untuk itu pemberian kewenangan kepada Daerah untuk mengurus suatu urusan pemerintahan janganlah sampai menciptakan in-efiensi atau high cost economy. Untuk mencapai efisiensi maka diperlukan skala ekonomi (econimies of scale) dalam pelaksanaannya. Pencapaian skala ekonomi terkait dengan luasan cakupan wilayah (catchment area) dimana urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan.
Untuk mencapai skala ekonomi tersebut, maka perlu dilakukan kerjasama antar daerah untuk optimalisasi pembiayaan dari penyelenggaraan urusan tersebut. Dalam penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan tersebut terdapat adanya inter-koneksi dan inter-dependensi karena keterkaitan dari urusan pemerintahan tersebut sebagai suatu "system". Urusan yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan berjalan optimal apabila tidak terkait (inter-koneksi) dengan Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Demikian juga sebaliknya. Untuk itu maka diperlukan adanya koordinasi untuk menciptakan sinerji dalam melaksanakan kewenangan mengelola urusan-urusan tersebut. Namun demikian setiap tingkatan pemerintahan mempunyai kewenangan penuh (independensi) untuk mengelola urusan pemerintahan yang menjadi domain kewenangannya. Sebagai ilustrasi; jalan negara yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan optimal apabila tidak terkait dengan jalan Provinsi yang menjadi kewenangan Provinsi menggelolanya. Jalan Provinsi juga tidak akan optimal apabila t:dak terkait dengan jalan Kabupaten/Kota. Secara keseluruhan jaringan jalan tersebut merupakan suatu "sistem jalan" yang didukung oleh sub sistem jalan Negara, Plan Provinsi clan jalan Kabupaten/Kota. Setiap tingkatan pemerintahan tersebut mempunyai kewenangan penuh (independent) untuk mengelola " jalan" yang menjadi domain kewenangannya. Namun dalam menjalankan kewenangannya masing-masing, harus ada koordinasi diantara ketiga tingkatan pemerintahan tersebut, agar jalan sebagai suatu sistem dapat berfungsi secara optimal.
Hubungan kewenangan antara daerah otonom Provinsi dengan daerah otonom
Kabupaten/Kota tidaklah hirarkhis. Provinsi mempunyai kewenangan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang bersifat antar Kabupaten/Kota (regional) yang berdampak regional. Sedangkan Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan menangani urusan-urusan pemerintahan yang berskala lokal yang dampaknya lokal. Keterkaitan antara kewenangan dan dampak adalah untuk menjamin akuntabilitas dari penyelenggaraan otonomi daerah tersebut. Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota akan bertanggung jawab atas urusan-urusan pemerintahan yang berdampak lokal. Pemerintah Daerah Provinsi akan bertanggung jawab atas urusan-urusan pemerintahan yang berdampak regional.
Pemerintah Pusat bertanggung jawab secara nasional untuk menjamin agar otonomi daerah dapat berjalan secara optimal. Konsekwensinya Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawasi, memonitor, mengevaluasi dan memberdayakan Daerah agar mampu menjalankan otonominya secara efektive, efisien, ekonomis dan akuntabel. Untuk supervisi dan fasilitasi terhadap pelaksanaan otonomi di tingkat Provinsi dilakukan langsung oleh Pemerintah. Sedangkan untuk melakukan kegiatan supervise dan fasilitasi terhadap pelaksanaan otonomi di tingkat Kabupaten/Kota, mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas, tidak akan efektip dan efisien kalau dilakukan langsung oleh Pemerintah. Untuk itu Pemerintah berdasarkan prinsip "dekonsentrasi" menugaskan Gubernur selaku wakil Pemerintah di Daerah untuk melakukan kegiatan supervise dan fasilitasi tersebut.
Adalah sulit bagi Gubernur secara pribadi untuk melakukan tugas supervisi dan fasilitasi tersebut. Untuk itu seyogyanya Gubernur memerlukan adanya perangkat dekonsentrasi untuk membantu pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya selaku wakil Pusat di daerah. Untuk mencegah salah persepsi bahwa tujuannya bukan untuk menghidupkan Kanwil dimasa lalu, maka perangkat tersebut lebih optimal berbentuk jabatan fungsional yang bertugas membantu Gubernur secara sektoral ataupun limas sektor yang serumpun seperti ahli kesehatan, ahli pendidikan, ahli kehutanan, ahli keuangan dsb sesuai dengan "magnitude" pembinaan dan pengawasan yang diperlukan oleh Gubernur sebagai wakil Pusat di daerah. Perangkat dekonsentrasi tersebut sifatnya membantu kelancaran tugas Gubernur untuk melakukan supervisi dan fasilitasi terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di wilayahnya dalam melaksanakan otonominya. Pembiayaan dari Gubernur dan perangkat dekonsentrasi yang membantunya dibebankan kepada Pemerintah Pusat melalui APBN.

Daftar Pustaka

Buku :
Handayana, Soewarno. 1982. Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: CV Haji Masagung
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Internet :
http://sakatik.blogspot.com/2008/10/hubungan-pusat-dan-daerah-dari-aspek
http://ihsanefendiry.blogspot.com/2011/hubungan pusat dan daerah

Kerangka Legal Peraturan Yang Mengatur Tentang Otonomi Daerah Banyak Yang Tidak Jelas



10 Tahun Otda, Wewenang Gubernur Masih Ngambang
Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah (Meneg Otda) Prof Ryaas Rasyid menilai pemerintah pusat membiarkan tugas dan wewenang gubernur, selaku wakil pemerintah pusat, tidak jelas. Selama 10 tahun otonomi daerah yang berbasis kebupaten dilakukan, maka tugas dan wewenang gubernur ngambang.
Saat ini. Ryaas mengakui, gu-bemur tidak memiliki kewibawaan tersendiri dihadapan para bupatinya. Akibatnya konflik antara gubernur dengan walikota atau bupati terus dirasakan.Agar masalah kewenangan dan tugas gubernur ini tak berlarut-larut, Ryaas mengusulkan pemerintah pusat segera menerbitkan peraturan pemerintah yang jelas merinci tugas dan wewenang gubernur. Jadi, diperlukan peraturan pemerintah untuk mengatur kewenangan gubernur secara rinci sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Ini harus segera dilakukan agar konflik gu-bemur dengan bupati atau walikota bisa diatasi.
Kata Ryaas, bukan kali ini saja dirinya menyuarakan perlunya ada PP yang mengatur kewenangan gubernur tersebut. Pada 2001 lalu, di era pemerintahan (alm) Presiden Gus Dur, ide itu pernah diusulkannya, namun tidak ditanggapi.Karena itu, Ryaas mensinyalir bahwa sikap pemerintah pusat yang tidak merinci kewenangan gubernur itu bertujuan agar kewenangan Jakarta (pemerintah pusat) tidak berkurang.
Anggota DPD asal Sumatera Barat Alir-man Sori. Alirman menilai beberapa bupati kerap melangkahi kewenangan gubernur. Hal ini disebabkan bupati memiliki kewenangan otonomi daerah yang lebih besar ketimbang gubernur.Gubernur tidak mengetahui apa yang menjadi tugas dan kewenangannya di daerah. Kewenangan gubernur tidak jelas ini menyebabkan banyak bupati lompat pagar melewati gubernur dan terjadi carut-marut pemerintahan di daerah.
Padahal, dalam Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah memiliki fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi urusan pemerintahan di daerah serta tugas pembantuan. Tapi penjabaran lebih lanjut apa yang mesti dibina, diawasi dan dikoordinasikan atau bagaimana mekanismenya belum diatur secara jelas oleh pemerintah pusat.
Tumpang Tindih dan Inkonsistensi Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan yang ada masih banyak yang tumpang tindih, inkonsisten dan bertentangan antara peraturan yang sederajat satu dengan lainnya, antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dan antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di bawahnya. Inventarisasi yang dilakukan oleh Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah menemukan hanya 14,8 persen, dari sebanyak 709 perda yang diteliti, secara umum tidak bermasalah. Sisanya, sebesar 85,2 persen perda yang dibuat oleh 134 daerah tingkat II merupakan perda-perda yang bermasalah. Masalah terbesar dari pengaturan perda-perda yang bermasalah tersebut antara lain terkait dengan kejelasan prosedur antara lain standar waktu, biaya, prosedur, tariff, dan lainnya dengan persentase sebesar 22,7 persen, dan permasalahan acuan yuridis yang tidak disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan tingkat pusat dengan persentase sebesar 15,7 persen.


Hubungan Perda Provinsi dan Perda Kabupaten Tidak Jelas
Pengaturan mengenai pembentukan Peraturan Daerah (Perda) di Indonesia memperlihatkan ketidaktaatan asas. Menurut pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Perda dan peraturan-peraturan lain ditetapkan oleh pemerintahan daerah. Sementara, berdasarkan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Perda dibuat oleh DPRD bersama kepada daerah. Sebaliknya, bagian Penjelasan Umum butir 7 UU Pemda tersebut, Perda dibuat oleh DPRD bersama dengan pemerintah daerah. Pada Undang-Undang yang sama, pasal 136, disebutkan bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.

Selain itu, bahwa Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda tidak mengatur hubungan antara Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Sehingga tidak jelas apakah hubungannya hierarkis atau setara. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menghendaki hubungan provinsi dan kabupaten/kota bersifat hierarkis. Hal ini juga dapat dirujuk ke TAP No. IV/MPR/2000 yang menghendaki otonomi daerah yang bertingkat dari provinsi sampai ke desa. Tetapi kalau merujuk pada UU No. 10 Tahun 2004, Perda Provinsi berkedudukan lebih tinggi dibanding Perda Kabupaten/Kota.

Undang-Undang Pemda membedakan tiga jenis produk hukum daerah otonom: dua produk hukum berupa pengaturan (yaitu Perda dan Peraturan Kepala Daerah), dan satu berupa pengurusan (SK Kepala Daerah). Dua yang pertama memiliki norma yang umum dan abstrak, sedangkan yang terakhir bersifat penetapan yang bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Kewenangan Otonomi Daerah Belum Jelas
Pelaksanaan Otonomi Daerah masih terkendala karena belum adanya pembagian kewenangan yang jelas antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi serta Kabupaten / Kota. Hingga kini, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota belum selesai dibahas oleh pemerintah.
Prinsip otonomi daerah sangat terganggu dengan belum adanya pembagian kewenangan ini. Padahal, kunci keberhasilan otonomi daerah adalah keterpaduan antarsektor dan antardaerah. Selain pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang belum ada, masalah lainnya adalah undang-undang sektoral yang belum disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sampai sekarang UU di tiap sektoral masih eksis dan kalau nanti pembagian kewenangan itu hanya diatur dalam peraturan pemerintah, maka tidak akan kuat. Pembagian kewenangan untuk pusat dan daerah diatur serta ditetapkan dalam konstitusi, bukan di peraturan pemerintah.

Nama Kelompok :
1) Ikhsan Efendi
2) Parlindungan Ritonga
3) Rahim Lubis

Birokrasi

Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata Biro (meja) dan Kratein (pemerintahan) yang disintesakan berarti Pemerintahan Meja. Tentu agak lucu pengertian seperti ini, tetapi memang demikianlah hakikat birokrasi oleh sebab lembaga inilah tampak kaku yang dikuasai oleh orang-orang di belakang meja.
Di dalam pendekatan Institusional (kelembagaan), khususnya di dalam skema, tercantum lalu lintas administrasi Negara dari eksekutif turun ke Kebijakan Administrasi, lalu ke Administrasi dan yang terakhir ke pemilih. Artinya, setiap kebijakan negara yang diselenggarakan pihak eksekutif diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan Administrasi Negara, di mana pelaksanaan dari administrasi tersebut dilakukan oleh lembaga birokrasi. Kita mungkin mengenal badan-badan seperti Departemen, Kanwil, Kantor Kelurahan, Kantor Samsat, di mana kantoo-kantor tersebut semua merupakan badan-badan birokrasi Negara yang mengimplemantasikan kebijakan Negara dan bersifat langsung berhubungan dengan masyarakat.
Michale G. Roskin, menyebut penertian birokrasi. Bagi mereka birokrasi adalah setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri atas para pejabat yang diangkat, di mana fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan. Idealnya, birokrasi merupakan system rasional atau struktur yang terorganisir yang dirancang sedemikian rupa guna memungkinkan adanya pelaksanaan kebijakan public yang efektif dan efisien.
Birokrasi juga dioperasikan oleh serangkaian aturan serta prosedur yang bersifat tetap. Terdapat rantai komando berupa hirarki kewenangan di mana tanggungjawab setiap bagiannya mengalir dari atas ke bawah. Selain itu, birokrasi juga disebut sebagai badan yang menyelenggarakan Pelayanan Publik. Birokrasi terdiri dari orang-orang yang diangkat oleh eksekutif, dan posisi mereka ini dating dan pergi. Artinya, mereka duduk di dalam birokrasi kadang dikeluarkan atau tetap dipertahankan berdasarkan prestasi kerja mereka. Seorang pegawai birokrasi yang malas biasanya akan mendapat teguran dari atasan, yang jika diteguran ini tidak digubris, ia kemungkinan besar akan diberhentikan dari posisinya. Namun, jika seorang pegawai menunjukkan prestasi kerja yang memuaskan, ada kemungkinan ia akan dipromosikan untuk mendapat posisi yang lebih tinggi.
Fungsi Birokrasi dan Peran Birokrasi
1 Melaksanakan pelayanan public.
2 Melaksanakan pembangunan professional.
3 Perencanaan, pengawas, dan pelaksana kebijakan
4 Alat Negara sebagai pelayan kepentingan masyarakat.
Karakteristik Birokrasi
Karakteristik birokrasi yang umum diacu adalah yang diajukan oleh Max Weber. Menurut Weber, paling tidak terdapat 8 karakteristik birokrasi, yaitu:
1 Organisasi yang disusun secara hirarkis.
2 Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.
3 Pelayanan public terdiri atas orang-orang yang diangkat, bukan dipilih, di mana pengangkatan tersebut didasarkan kepada kualifikasi, kemampuan, jenjang pendidikan, atau pengujian.
4 Seorang pelayan public menerima gaji pokok berdasarkan posisi.
5 Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir.
6 Para pejabat tidak memiliki sendiri kantor mereka.
7 Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.
8 Promosi yang ada didasarkan atas penilaian atasan.
Ditinjau secara politik, karakteristik birokrasi menurut Weber hanya menyebut hal-hal yang ideal. Artinya, terkadang pola pengangkatan pegawai di dalam birokrasi yang seharusnya didasarkan atas jenjang pendidikan atau hasil ujian, kerap tidak terlaksana. Ini diakibatkan masih berlangsungnya pola pengangkatan pegawai berdasarkan kepentingan pemerintah.
Jika berbicara tentang birokrasi tidak terlepas dari sistem otorita .Dalam membahas mengenai otorita. Weber mengajukan 3 tipe idealnya yang terdiri dari:
1 Otorita tradisional
Otorita tradisional mendasarkan diri pada pola pengawasan di mana legitimasi diletakkan pada loyalitas bawahan kepada atasan
2 Otorita Kharismatik
Sedang otorita kharismatik menunjukkan legitimasi yang didasarkan atas sifat-sifat pribadi yang luar biasa.
3 Legal Rasional
Adapun otorita legal rasional kepatuhan bawahan di dasarkan atas legalitas formal dan dalam yurisdiksi resmi.
Ada dua pandangan dalam merumuskan birokrasi, yaitu:
a. Memandang birokrasi sebagai alat atau mekanisme.
b. Memandang birokrasi sebagai instrumen kekuasaan.
Pentingnya Birokrasi
1 Teori yang lama memandang birokrasi sebagai instrumen politik. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, teori tersebut ditolak, dengan menyatakan pentingnya peranan birokrasi dalam seluruh tahapan atau proses kebijakan publik.
2 Dalam membahas birokrasi ada tiga pertanyaan pokok yang harus diperhatikan:
a) Bagaimana para birokrat dipilih,
b) Apakah peranan birokrat dalam pembuatan keputusan, dan
c) Bagaimana para birokrat diperintah. Dalam hubungannya dengan pertanyaan kedua, hal pertama yang perlu disadari adalah ada perbedaan antara proses pembuatan keputusan yang aktual dengan yang formal. Dalam kenyataan birokrat merupakan bagian dari para pembuat keputusan.
3 Pentingnya peranan birokrasi amat menonjol dalam negara-negara sedang berkembang di mana mereka semuanya telah memberikan prioritas kegiatannya pada penyelenggaraan pembangunan nasional. Di negara-negara ini birokrasi berperan sebagai motor dan penggerak pembangunan. Secara khusus peranan dan pentingnya arti birokrasi tertampilkan dalam fungsinya sebagai pemrakarsa usul pembuatan kebijakan, penasihat dalam kebijakan dan sebagai inovator dan penyedia sumber.
Peran Birokrasi dalam Pemerintahan Modern
Ada 4 fungsi birokrasi di dalam suatu pemerintahan modern:
1 Administrasi
2 Pelayanan
3 Pengaturan
4 Pengumpul Informasi
Kelemahan dan Problema dalam Birokrasi
A. Kelemahan-kelemahan birokrasi terletak dalam hal:
a) Penetapan standar efisiensi yang dapat dilaksanakan secara fungsional.
b) Kecenderungan birokrat untuk menyelewengkan tujuan-tujuan organisasi.
B. Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam birokrasi sebenarnya tidak berarti bahwa birokrasi adalah satu bentuk organisasi yang negatif, tetapi seperti dikemukakan oleh K. Merton lebih merupakan bureaucratic dysfunction.
C. Usaha untuk memperbaiki penampilan birokrasi diajukan dalam bentuk teori birokrasi sistem perwakilan. Asumsi yang dipergunakan adalah bahwa birokrat di pengaruhi oleh pandangan nilai-nilai kelompok sosial dari mana ia berasal. Pada gilirannya aktivitas administrasi diorientasikan pada kepentingan kelompok sosialnya. Sementara itu, kontrol internal tidak dapat dijalankan. Sehingga dengan birokrasi sistem perwakilan diharapkan dapat diterapkan mekanisme kontrol internal. Teori birokrasi sistem perwakilan secara konseptual amat merangsang, tetapi tidak mungkin untuk diterapkan. Karena teori ini tidak realistik, tidak jelas kriteria keperwakilan, emosional dan mengabaikan peranan pendidikan. Menurut pendapat Robert Presthus birokrasi tetap diperlukan. Karena ternyata birokrasi merupakan satu bentuk organisasi yang amat adaptif terhadap program-program yang berbeda. Tetapi, Warren Bennis mengantisipasi bahwa birokrasi akan berakhir 25 atau 50 tahun yang akan datang karena dua hal:
a) Ketidakmampuan birokrasi untuk menyelesaikan konflik mengenai tujuan pribadi dan organisasi.
b) Revolusi ilmu dan teknologi.


Daftar Pustaka
http://setabasri01. Blogspot.com/2009/02/birokrasi.html

Kamis, 19 Mei 2011

Strategi dan Kebijakan Pemerintah dalam Menanggulangi Pengangguran



A. PENDAHULUAN
Salah satu masalah pokok yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia adalah masalah pengangguran. Pengangguran yang tinggi berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap kemiskinan, kriminalitas dan masalah-masalah sosial politik yang juga semakin meningkat. Dengan jumlah angkatan kerja yang cukup besar, arus migrasi yang terus mengalir, serta dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini, membuat permasalahan tenaga kerja menjadi sangat besar dan kompleks.
Memang masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi.
Hal ini akibat dari krisis finansial yang memporak-porandakan perkonomian nasional, banyak para pengusaha yang bangkrut karena dililit hutang bank atau hutang ke rekan bisnis. Begitu banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di-PHK oleh perusahaan di mana tempat ia bekerja dalam rangka pengurangan besarnya biaya yang dipakai untuk membayar gaji para pekerjanya. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya ledakan pengangguran yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif singkat.
Awal ledakan pengangguran sebenarnya bisa diketahui sejak sekitar tahun 1997 akhir atau 1998 awal. Ketika terjadi krisis moneter yang hebat melanda Asia khususnya Asia Tenggara mendorong terciptanya likuiditas ketat sebagai reaksi terhadap gejolak moneter di Indonesia, kebijakan likuidasi atas 16 bank akhir November 1997 saja sudah bisa membuat sekitar 8000 karyawannya menganggur.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap sekitar 1,3 juta orang dari tambahan angkatan kerja sekitar 2,7 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampaui 10 juta orang.
Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data pada tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang ideal bagi negara berkembang macam Indonesia adalah di atas 6%. Jika masalah pengangguran yang demikian pelik dibiarkan berlarut-larut maka sangat besar kemungkinannya untuk mendorong suatu krisis sosial. yang terjadi tidak saja menimpa para pencari kerja yang baru lulus sekolah, melainkan juga menimpa orangtua yang kehilangan pekerjaan karena kantor dan pabriknya tutup. Indikator masalah sosial bisa dilihat dari begitu banyaknya anak-anak yang mulai turun ke jalan. Mereka menjadi pengamen, pedagang asongan maupun pelaku tindak kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik.
Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran dinegara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal.
Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlalu melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
B. PEMBAHASAN
Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, listrik, air bersih dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan.
Oleh karena itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesuai dengan UUD 45 pasal 27 ayat 2. Sebagai solusi pengangguran berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, untuk itu diperlukan kebijakan yaitu :
1. Pemerintah memberikan bantuan wawasan, pengetahuan dan kemampuan jiwa kewirausahaan kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berupa bimbingan teknis dan manajemen memberikan bantuan modal lunak jangka panjang, perluasan pasar. Serta pemberian fasilitas khusus agar dapat tumbuh secara mandiri dan andal bersaing di bidangnya.Mendorong terbentuknya kelompok usaha bersama dan lingkungan usaha yang menunjang dan mendorong terwujudnya pengusaha kecil dan menengah yang mampu mengembangkan usaha, menguasai teknologi dan informasi pasar dan peningkatan pola kemitraan UKM dengan BUMN, BUMD, BUMS dan pihak lainnya.
2. Segera melakukan pembenahan, pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya daerah yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia.
3. Segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Seperti PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan terdata dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci.
4. Segera menyederhanakan perizinan dan peningkatan keamanan karena terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing maupun Penanaman Modal Dalam Negeri. Hal itu perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan iklim investasi yang kondusif untuk menciptakan lapangan kerja.
5. Mengembangkan sektor pariwisata dan kebudayaan Indonesia (khususnya daerah-daerah yang belum tergali potensinya) dengan melakukan promosi-promosi keberbagai negara untuk menarik para wisatawan asing, mengundang para investor untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan yang nantinya akan banyak menyerap tenaga kerja daerah setempat.
6. Melakukan program sinergi antar BUMN atau BUMS yang memiliki keterkaitan usaha atau hasil produksi akan saling mengisi kebutuhan. Dengan sinergi tersebut maka kegiatan proses produksi akan menjadi lebih efisien dan murah karena pengadaan bahan baku bisa dilakukan secara bersama-sama.
7. Dengan memperlambat laju pertumbuhan penduduk (meminimalisirkan menikah pada usia dini) yang diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan sisi angkatan kerja baru atau melancarkan sistem transmigrasi dengan mengalokasikan penduduk padat ke daerah yang jarang penduduk dengan difasilitasi sektor pertanian, perkebunan atau peternakan oleh pemerintah.
8. Menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi secara ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil. Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
9. Segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan yang berorientasi kompetensi. Karena sebagian besar para penganggur adalah para lulusan perguruan tinggi yang tidak siap menghadapi dunia kerja.
10. Segera mengembangkan potensi kelautan dan pertanian. Karena Indonesia mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim dan agraris. Potensi kelautan dan pertanian Indonesia perlu dikelola secara baik dan profesional supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif.
C. KESIMPULAN
Pengangguran adalah problem yang terus menumpuk. Bertambah dari tahun ke tahun. Persoalan pengangguran bukan sekedar bertumpu pada makin menyempitnya dunia kerja, tetapi juga rendahnya kualitas SDM (sumber daya manusia) yang kita punyai.
Beberapa masalah lain yang juga berpengaruh terhadap ketenagakerjaan adalah masih rendahnya arus masuk modal asing, perilaku proteksionis sejumlah negara-negara maju dalam menerima ekspor komoditi, Beberapa masalah lain yang juga berpengaruh terhadap ketenagakerjaan adalah masih rendahnya arus masuk modal asing (investasi), stabilitas keamanan, perilaku proteksionis (travel warning) sejumlah Negara-negara barat terhadap Indonesia, perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan global yang menjadikan krisis pangan didunia, harga minyak dunia naik, pasar global dan berbagai perilaku birokrasi yang kurang kondusif atau cenderung mempersulit bagi pengembangan usaha, serta tekanan kenaikan upah buruh ditengah dunia usaha yang masih lesu.
Disamping masalah-masalah tersebut diatas, faktor-faktor seperti kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan karyawan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik juga sangat berpengaruh terhadap ketenagakerjaan di Indonesia.
Semua permasalahan hal diatas tampaknya sudah dipahami oleh pembuat kebijakan (Decision Maker). Namun hal yang tampaknya kurang dipahami adalah bahwa masalah ketenagakerjaan atau pengangguran bersifat multidimensi, sehingga juga memerlukan cara pemecahan yang multidimensi pula.


DAFTAR PUSTAKA
Friedrik, J. Carl. 1963. Man and His Government. New York : Mc Graw Hill.
Drs. Islamy, M. Irfan, MPA. 1988. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta : PT. Bina Aksara.
Jawa Pos. Kamis 27 Maret, 2008.Atasi pengangguran, Butuh Sinergi, Hlm.9.
http://www.datastatistik-indonesia.com
http://www.organisasi.org

Rabu, 18 Mei 2011

HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DILIHAT DARI SEGI KELEMBAGAAN



A. Peran Kepala Daerah Sebagai Pelaksana dan Subjek Penghubung Derah dan Pemerintah Pusat.
Dalam konteks hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah, Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memilki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintah darah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan kewenangan, keuangan, pelayanan umum, pemenfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Dianutnya Desentralisasi dalam organisasi Negara tidak berarti ditinggalkannya asas Sentralisasi, karena kedua asas tersebut tidak bersifat dikotomis melainkan kontinum.
Pemerintah Pusat dan Kepala Daerah merupakan satu perahu yang mesti sama-sama menjalankan satu garis kebijakan. Proses Demokrasi akan berjalan apabila semua embrio yang ada dalan suatu Negara berjalan bersama dengan saling mengontrol dan mengawasinya. Para Kepala Daerah tidak boleh takut menolak kebijakan-kebijakan pusat yang bertentangan atau tidak sesuai dengan daerahnya, karena kritik dan masukan dari daerahlah yang dapat membantu membangun bangsa ini.
Adapun wewenang, tugas, atau peran Kepala Daerah sebagai pelaksana dan subjek penghubung daerah dengan pemerintah pusat antara lain :
a. Memimpin penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
b. Mengajukan rancangan Perda.
c. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.
f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hokum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan Perundang-undangan, dan
g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kepala Daerah mempunyai kewajiban ubtuk memberikan laporan penyelengaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat. Laporan penyelengaraan Kepala Daerah kepada Pemerintah disampaikan kepda Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota satu kali dalam satu tahun.
Didalam urusan Peraturan Daerah, rancangan Perda Kepala Daerah dan DPRD yang mempersiaakan rancangan Perda yang berasal dari Kepala Daerah diatur dengan Peraturan Presiden. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerah. Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada daerah untuk ditetapkan sebagai Perda.
Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan Perundang-undangan. Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan Perundang-undangan, keapal Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Peraturan Kepala Daerah dan atau keputusan Kepala Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum , Perda, dan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan Perundang-undangan, Kepala Daerah menetapkan peraturan Kepala Daerah dan atau keputusan Kepala Daerah.
Rancangan Perda tentang APBD yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh Kepala Daerah paling lama disampaikan tiga hari kepada Gubernur untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaiakan kepada Gubernur paling lambat 15 hari sejak diterimanya rancangan Perda tentang APBD tersebut.
Didalam kewenangan, system rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas, dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut, yaitu daerah-daerah akan memilki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.
Pada umumnya, hubungan antara Kepala Daerah dan Pemerintah Pusat juda Terefleksi dalam Intergovermental Fiscal Relations. Pelimpahan tugas kepada Kepala Daerah juga disertai dengan pelimpahan keuangan, pendelegasian pengeluaran sebagai konsekuensi diberikannya kewenangan yang luas serta tanggungjawab pelayanan public tentunya harus diikuti dengan adanya pendelegasian pendapatan. Hubungan keuangan Pusat dan Daerah dimanapun sangat dipandang dalam menentukan kemandirian Otonomi. Inti hubungan keuangan Pusat dan Daerah adalah perimbangan keuangan Kepala Daerah dalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaan, Kepala Daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban serta pengawasan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah.



B. Hubungan Kerja Kepala Daerah dengan DPRD
Kepala Daerah berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD tentang pelaksanaan Pemerintahan Daerah yang dipimpinnya, karena DPRD adalah salah satu unsure Pemerintah Daerah.
Kepala Daerah bersama DPRD mempunyai tugas-tugas sebagai berikut :
1. Membuat Peraturan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangannya dalam berbagai bidang. Peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini Undang-undang dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.
2. Menggali sumber keuangan untuk menyelenggarakan rumah tangganya dengan jalan mengadakan Pajak, menarik retribusi terhadap jasa-jasa yang diberikan kepada penduduk, dan mengadakan pinjaman.
3. Berhak menguisahakan sumber daya yang ada di daerahnya.
4. Melaksanakan pengawasan terhadsap pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, peraturan Kepala Daerah, APBD, kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah, dan kerja sama Internasioanl di daerah.
5. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana perjanjian Internasional di daerah.
Dalam Pemerintahan Daerah, DPRD pada hakekatnya disamping merupakan badan resmi yang mewakili rakyat juga sebagai mitra eksekutif dalam merumuskan kebijakan dalam rangka menjalankan roda Pemerintahan Daerah. Selain itu kedua lembaga tersebut mempunyai kedudukan yang sejajar.
Dalam kedudukannya sebagai badan Legislatif daerah, DPRD bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah. Dengan tanpa menguraikan makna mitra itu sendiri secara lebih mendetail. Namun sebagai lembaga Pemerintah Daerah, DPRD mempunyai kedudukan setara dan memiliki hubungan kerja bersifat kemitraan dengan Pemerintah Daerah, hal ini sebagaiman diatur dalam undang-undang No. 32 tahun 2004. Kedudukan yang setara bermakna bahwa antara DPRD dan Pemerintah Daerah memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam arti tidak saling membawahi. Hubungan bersifat kemitraan berarti DPRD merupakan mitra kerja Pemerintah Daerahdalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan Otonomi Daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Berdasarkan hal tersebut antar kedua lembaga wajib memelihara dan membangun hubungan kerja yang harmonis dan satu sama lain harus saling mendukung, bukan sebagai lawan atau pesaing.
Untuk terjalinnya hubungan kerja yang harmonis dan saling mendukung, diperlukan adanya pengaturan tentang hak-hak protokoler dan keuangan Pimpinan dan anggota DPRD. Hal tersebut agar masing-masing memperoleh hak dan melaksanakan kewajiban meningkatkan peran dan tanggungjawab mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakn tugas dan kewenangannya, mengembangkan hubungan dan mekanisme checks and balances antara lembaga Legislatif dan Eksekutif, meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Kemitraan dan kesejajaran ini selain dapat dilihat dari penelitian atau pengambilan kebijakan secara bersama-sama, juga dapat dilihat dari pengaturan akan setiap penyelenggaraan pelaksanaan acara kenegaraan atau secara resmi pengaturan akan posisi pimpinan dan anggota DPRD pada setiap acara yang digelar secara resmi. Oleh sebab itu, lembaga DPRD merupakan badan legislative daerah yang berfungsi menetapkan tugas pemerintahan dibidang politik, sedangkan Pemerintah Daerah sebagai badan Eksekutif daerah, berfungsi menyelenggarakan pelaksanakan dari pada Garis-garir Besar Haluan Pembanguna Daerah (GBHD) yang telah ditetapkan oleh badan legislative daerah.
Pada prinsipnya urgensi jenis hubungan antara eksekutif dan legislative tersebut meliputi hal-hal, yaitu : reprentasi, anggaran, pertanggungjawaban, pembuatan Peraturan Daerah, pengangkatan Sekretaris Daerah, pembinaan, dan pengawasan. Hubungan Eksekutif dan Legislatif mengemukakan tiga pola hubungan Legislatif-Eksekutif yang secara realistic dapat dikembangkan. Ketiga hubungan itu adalah :
1) Bentuk komunikasi dan tukar menukar informasi.
2) Bentuk kerjasama atas beberapa subjek, program, masalah, dan pengembangan regulasi.
3) Kalrifikasi atas berbagai permasalahan.
Ketiga bentuk hubungan tersebut berbeda-beda dalam peran dan aktualisasi masing-masing pihak, baik eksekutif maupun legislative dan yang paling berat dirasakan kedua belah pihak mungkin dalam hubungan klarifikasi. Namun, kolaborasi tersebut hanya mungkin menjadi kenyataan jika dikembangkan etika yang dapat merefleksikan bahwa DPRD bukan sebagai ancaman tetapi lembaga yang bekerja untuk kepentingan masyarakat. Sebaliknya Pemerintah Daerah diharapkan mampu menciptakan suasana kondusif yang dapat mendorong DPRD bekerja secara independent dan tetap kritis.
C. Hubungan Kerja Pemerintah Daerah dengan Lembaga Lain Pada Tingkat Lokal
Salah satu hubungan kerja Pemerintah Daerah dengan lembaga-lembaga lain ditingkat local ialah kewenangan untuk menjalankan koordinasi atau kegiatan antar lembaga-lembaga local baik dalam pelaksanaan untuk mencapai dayaguna dan hasilguna yang sebaik-baiknya dan berupa pemberian laporan rencana dan kegiatan dari lembaga-lembaga lain tersebut kepada Pemerintah Daerah. Dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga lain ditingkat local, Pemerintah Daerah harus selalu memperhatikan dan tidak boleh bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berhubung dengan diberikannya tugas koordinasi kepada daerah, maka lembaga-lembaga lain ditingkat local berada dibawah koordinasi Pemerintah Daerah selaku wakil pemerinttah. Dalam hubungan itu, lembaga-lembaga lain tersebut wajib melaporkan segala rencana dan kegiatan, member keterangan-keterangan yang diminta dan mematuhi petunjuk-petunjuk umum yang diberikan Pemerintah Daerah.


Daftar Pustaka
Buku :
Pamudji, S. 1983. Kerjasama Antar Daerah. Jakarta: Media Aksara
Widiyanti, Ninik. 1987. Kepala Daerah dan Pengawasan dari Pusat. Jakarta: Bumi Aksara

Internet :
http://sakatik.blogspot.com/2008/10/hubungan-pusat-dan-daerah-dari-aspek

Senin, 09 Mei 2011

HAKIKAT MANUSIA



Berbicara tentang manusia maka satu pertanyaan klasik yang sampai saat ini belum memperoleh jawaban yang memuaskan adalah pertanyaan tentang siapakah manusia itu. Banyak teori telah dikemukakan, di antaranya adalah pemikiran dari aliran materialisme, idealisme, realisme klasik, dan teologis.
Aliran materialisme mempunyai pemikiran bahwa materi atau zat merupakan satu-satunya kenyataan dan semua peristiwa terjadi karena proses material ini, sementara manusia juga dianggap juga ditentukan oleh proses-proses material ini.
Sedangkan aliran idealisme beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian. Aliran realisme klasik beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian, dan aliran teologis membedakan manusia dari makhluk lain karena hubungannya dengan Tuhan.
Di samping itu, beberapa ahli telah berusaha merekonstruksikan kedudukan manusia di antara makhluk lainnya. Juga berusaha membandingkan manusia dengan makhluk lainnya. Dari hasil perbandingan tersebut ditemukan bahwa semua makhluk mempunyai dorongan yang bersifat naluriah yang termuat dalam gen mereka.
Sementara yang membedakan manusia dari makhluk lainnya adalah kemampuan manusia dalam hal pengetahuan dan perasaan. Pengetahuan manusia jauh lebih berkembang daripada pengetahuan makhluk lainnya, sementara melalui perasaan manusia mengembangkan eksistensi kemanusiaannya.