Powered By Blogger

Jumat, 24 Juni 2011

HUBUNGAN PEMERINTAHAN PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DARI ASPEK URUSAN DAN KEWENANGAN (DALAM KORIDOR UU NO.32 TAHUN 2004)



I. LANDASAN TEORI
Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi NKRI. Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai desentralisasi. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat Negara. Artinya, kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan regional atau lokal. Sementara itu nilai dasar desentralisasi diwujudkan dengan pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan atau diakui Sebagai domain rumah tangga daerah otonom tersebut.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan pola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini karena dalam penyelenggaraan desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-¬bagian tertentu urusan pemerintahan.
Sesuai UUD 1945, karena Indonesia adalah "Eenheidstaat", maka di dalam lingkungannya tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat staat juga. Ini berarti bahwa sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara. Dengan demikian pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki cirri-ciri :
a. Daerah Otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal.
b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atas urusan pemerintahan.
c. Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada butir b tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Dengan demikian jelaslah bahwa desentralisasi merupakan instrumen untuk mencapai tujuan bernegara dalam kerangka kesatuan bangsa (national unity) yang demokratis (democratic government). Dalam konteks UUD 1945, selalu harus diperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk menyelenggarakan desentralisasi dengan kebutuhan memperkuat kesatuan nasional. Oleh sebab itu ciri umum penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia sesuai dengan UUD 1945 adalah :
1. Pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan oleh Pemerintah, bahkan dapat dihapus oleh Pemerintah melalui proses hukum apabila daerah tidak mampu menjalankan otonominya setelah melalui fasilitasi pemberdayaan.
2. Dalam rangka desentralisasi, di wilayah Indonesia dibentuk Provinsi dan di wilayah Provinsi dibentuk Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom.
3. Sebagai konsekuensi ciri butir 1 dan 2, maka kebijakan desentralisasi disusun dan dirumuskan oleh Pemerintah, sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan melibatkan masyarakat sebagai cerminan pemerintahan yang demokratis.
4. Hubungan antara pemerintah daerah otonom dengan pemerintah nasional (Pusat) adalah bersifat tergantung (dependent) dan bawahan (subordinate). Hal ini berbeda dengan hubungan antara pemerintah negara bagian dengan pemerintah federal yang menganut prinsip federalisme, yang sifatnya independent dan koordinatif.
5. Penyelenggaraan desentralisasi menuntut persebaran urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi Lembaga Negara yang membidangi legislatif atau lembaga pembentuk Undang-Undang dan yudikatif ataupun lembaga Negara yang berwenang mengawasi keuangan Negara. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang di desentralisasikan menjadi kewenangan Kepala Daerah dan DPRD untuk melaksanakannya sesuai dengan mandat yang diberikan rakyat.
Persebaran urusan pemerintahan ini memiliki dua prinsip pokok :
a) Selalu terdapat urusan pemerintahan yang umumnya secara universal tidak dapat diserahkan kepada daerah karena menyangkut kepentingan kelangsungan hidup bangsa dan negara seperti urusan pertahanan-keamanan, politik luar negeri, moneter, dan peradilan.
b) Tidak ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah. Untuk urusan¬-urusan pemerintahan yang berkaitan kepentingan lokal, regional dan nasional dilaksanakan secara bersama (concurrent). Ini berarti ada bagian-bagian dari urusan pemerintahan tertentu yang dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, ada bagian-bagian yang diselenggarakan oleh Provinsi dan bahkan ada juga yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Diperlukan adanya hubungan koordinasi antar tingkatan pemerintahan agar urusan-urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dapat terselenggara secara optimal.
Mengingat urusan pemerintahan bersifat dinamis maka dalam penyerahan urusan pemerintahan tersebut selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Untuk menjamin kepastian, perubahan-perubahan tersebut perlu didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu selalu ada dinamika dalam distribusi urusan pemerintahan (inter-governmental function sharing) antar tingkatan pemerintahan Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat.
Secara universal terdapat dua pola besar dalam merumuskan distribusi urusan pemerintahan, yakni :
1) pola-general competence (otonomi luas) dan
2) pola ultra vires (otonomi terbatas).
Dalam pola otonomi luas dirumuskan bahwa urusan-urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam prinsip Ultra Vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pusat.
Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah Provinsi dipimpin oleh Kepala Daerah Provinsi yang disebut Gubernur yang juga bertindak sebagai wakil Pusat di Daerah. Sebagai wakil Pemerintah di Daerah, Gubernur melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) terhadap Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya agar otonomi daerah Kabupaten/Kota tersebut bisa berjalan secara optimal. Sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur juga melaksanakan urusan-urusan nasional yang tidak termasuk dalam otonomi daerah dan tidak termasuk urusan instansi vertikal di wilayah Provinsi yang bersangkutan. Disamping itu, sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur mempunyai peranan selaku "Integrated Field Administration" yang berwenang mengkoordinir semua instansi vertikal yang ada di Provinsi yang bersangkutan disamping melakukan supervisi dan fasilitasi terhadap Kabupaten/ Kota yang ada di wilayahnya. Gubernur mempunyai "Tutelage Power" yaitu menjalankan kewenangan Pusat untuk membatalkan kebijakan Daerah bawahannya yang bertentangan dengan kepentingan umum ataupun peraturan perundangan yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut maka diperlukan pengaturan yang sistematis yang menggambarkan adanya kewenangan Gubernur yang berkaitan dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan.
Selain urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara sentralisasi, terdapat urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara desentralisasi. Desentralisasi dalam arti lugs dapat dilakukan secara devolusi, dekonsentrasi, privatisasi dan delegasi (Rondinelli & Cheema, 1983). Pemahaman devolusi di Indonesia mengacu kepada desentralisasi sedangkan delegasi terkait dengan pembentukan lembaga semi pemerintah (Quasi Government Organisation/Quango) yang mendapatkan delegasi Pemerintah untuk mengerjakan suatu urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah. Lembaga yang terbentuk berdasarkan prinsip delegasi dapat berbentuk Badan Otorita, Badan Usaha Milik Negara, Batan, LEN, Bakosurtanal. Dalam konsep otonomi luas, maka urusan pemerintahan yang tersisa di Daerah (residual functions) atau Tugas Pemerintah lainnya yang belum ditangani dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Hal inilah yang sering dikelompokkan dalam pelaksanaan azas vrisj bestuur. Vrisj Bestuur yang bersifat lintas Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Propinsi sedangkan yang lokal menjadi kewenangan Kabupaten/ Kota. Konsep privatisasi berimplikasi pada dilaksanakannya sebagian fungsi-fungsi yang sebelumnya merupakan kewenangan Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah oleh pihak swasta. Variant lainnya dari privatisasi adalah terbukanya kemungkinan kemitraan (partnership) antara pihak Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan pihak swasta dalam bentuk Built Operate Own (BOO), Built Operate Transfer (BOT), management contracting out.
Penyelenggaraan tugas pembantuan (Medebewind) diwujudkan dalam bentuk penugasan oleh pemerintah pusat kepada Daerah atau Desa atau oleh Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan Desa untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan. Pembiayaan dan dukungan sarana diberikan oleh yang menugaskan sedangkan yang menerima penugasan wajib untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas tersebut kepada yang menugaskan.
Penyelenggaraan Pemerintahan Nasional dilaksanakan oleh Departemen dan Kementrian Negara serta LPND. Untuk melaksanakan kewenangan Pusat di Daerah digunakan alas dekonsentrasi yang dilaksanakan oleh instansi vertikal balk yang wilayah yurisdiksinya mencakup satu wilayah kerja daerah otonom maupun mencakup beberapa wilayah kerja daerah otonom seperti adanya KODAM, POLDA, Kejaksaan, Badan Otorita Pusat di Daerah dan lain-lainnya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD yang bekerja atas dasar kemitraan dan bukan membawahkan satu sama lainnya. Dalam menyusun dan merumuskan kebijakan daerah, kedua institusi tersebut bekerjasama dengan semangat kemitraan. Namun pada saat pelaksanaan (implementasi), kedua institusi memiliki fungsi yang berbeda. Kepala Daerah melaksanakan kebijakan Daerah dan DPRD melakukan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan daerah. Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) diadopsi prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif, efisien, transparan, demokratis, partisipatif, dan akuntabel. Oleh sebab itu hubungan antar Kepala Daerah, DPRD, dan masyarakat daerah dalam rangka checks and balances menjadi kebutuhan mutlak.
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi salah satu ciri penting pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini karena karakteristik sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia yang sangat beragam dari satu daerah dengan daerah yang lain. Sebagai perwujudan nilai dasar konstitusi maka diperlukan pengaturan tentang pembagian hasil atas pengelolaan sumber daya alam, buatan maupun atas basil kegiatan perekonomian lainnya yang intinya untuk memperlancar pelaksanaan otonomi daerah, dan pada saat yang sama memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik sebagai refleksi dari proses demokratisasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal yang pada gilirannya secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan kesejahteraan akan memposisikan Pemda sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pelayanan yang disediakan Pemda kepada masyarakat ada yang bersifat regulative (public regulations) seperti mewajibkan penduduk untuk mempunyai KTP, KK, IMB dan sebagainya. Sedangkan bentuk pelayanan lainnya adalah yang bersifat penyediaan public goods yaitu barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumah sakit, terminal dan sebagainya. Apapun barang dan regulasi yang disediakan oleh Pemda haruslah menjawab kebutuhan riil warganya. Tanpa itu, Pemda akan kesulitan dalam memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah diberikan warga kepada Pemda untuk mengatur dan mengurus masyarakat. Untuk itulah maka seluas apapun otonomi atau kewenangan yang dilaksanakan oleh Daerah, kewenangan itu tetap ada batas--batasnya, yaitu rambu-rambu berupa pedoman dan arahan, serta kendali dari Pemerintah, balk berupa UU, PP, atau kebijakan lainnya.
Disamping itu haruslah kewenangan tersebut berkorelasi dengan kebutuhan masyarakat. Kewenangan tersebut yang memungkinkan Daerah mampu memberikan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Argumen inilah yang menjadi dasar kenapa urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dikelompokkan menjadi dua yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib berkorelasi dengan penyediaan pelayanan dasar dan urusan pilihan terkait dengan pengembangan potensi unggulan yang menjadi kekhasan daerah yang bersangkutan.
Dari tujuan demokratisasi dan kesejahteraan diatas, maka misi utama dari keberadaan Pemda adalah bagaimana mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektip, efisien dan ekonomis serta melalui cara-cara yang demokratis. Untuk mampu menyediakan pelayanan publik yang optimal dan mempunyai kepastian maka untuk penyediaan pelayanan dasar diperlukan adanya Standard Pelayanan Minimum (SPM). SPM yang menjadi "benchmark" bagi Pemda dalam mengatur aspek kelembagaan, personil, keuangan, dan mengukur kinerja dalam penyediaan pelayanan publik. Sisi demokratisasi pada Pemda berimplikasi bahwa Pemda dijalankan oleh masyarakat daerah sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis. Dalam menjalankan misinya untuk mensejahterakan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta mengagregasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam kebijakan-kebijakan publik di tingkat lokal. Namun kebijakan publik di tingkat lokal tidak boleh bertentangan dengan kebijakan publik nasional dan diselenggarakan dalam koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang berlaku pada negara dan bangsa tersebut.

II. HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat dilihat dari Adanya hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Peran Pusat dalam kerangka otonomi Daerah akan banyak bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity building) agar Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standard dan prosedur yang ditentukan Pusat.

III. HUBUNGAN DAN DISTRIBUSI KEWENANGAN
Daerah Otonom diberi wewenang untuk mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Seluas apapun Otonomi Daerah, tetap ada dalam batas dan ruang lingkup wewenang Pemerintah. Pemerintah Pusat yang mengatur hubungan antara Pusat dan Daerah yang dituangkan dalam Peraturan Perundangan yang bersifat mengikat kedua belah pihak. Namun dalam pengaturan hubungan tersebut haruslah memperhatikan aspirasi Daerah sehingga tercipta sinerji antara kepentingan Pusat dan Daerah. Agar terwujud distribusi kewenangan mengelola urusan pemerintahan yang efisien dan efektip antar tingkatan pemerintahan, maka distribusi kewenangan mengacu pada kriteria sebagai berikut:
a) Externalitas: unit pemerintahan yang terkena dampak langsung dari pelaksanaan suatu urusan pemerintahan, mempunyai kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan tersebut.
b) Akuntabilitas: unit pemerintahan yang berwenang mengurus suatu urusan pemerintahan adalah unit pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan urusan tersebut. Ini terkait dengan pertanggung jawaban (akuntabilitas) dari pengelolaan urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat yang menerima dampak langsung dari urusan tersebut. Urusan lokal akan menjadi kewajiban Kabupaten/ Kota untuk mempertanggung jawabkan dampaknya. Urusan yang berdampak regional akan menjadi tanggung jawab Provinsi dan urusan yang berdampak nasional akan menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
c) Efisiensi: pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan rakyat.
Untuk itu pemberian kewenangan kepada Daerah untuk mengurus suatu urusan pemerintahan janganlah sampai menciptakan in-efiensi atau high cost economy. Untuk mencapai efisiensi maka diperlukan skala ekonomi (econimies of scale) dalam pelaksanaannya. Pencapaian skala ekonomi terkait dengan luasan cakupan wilayah (catchment area) dimana urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan.
Untuk mencapai skala ekonomi tersebut, maka perlu dilakukan kerjasama antar daerah untuk optimalisasi pembiayaan dari penyelenggaraan urusan tersebut. Dalam penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan tersebut terdapat adanya inter-koneksi dan inter-dependensi karena keterkaitan dari urusan pemerintahan tersebut sebagai suatu "system". Urusan yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan berjalan optimal apabila tidak terkait (inter-koneksi) dengan Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Demikian juga sebaliknya. Untuk itu maka diperlukan adanya koordinasi untuk menciptakan sinerji dalam melaksanakan kewenangan mengelola urusan-urusan tersebut. Namun demikian setiap tingkatan pemerintahan mempunyai kewenangan penuh (independensi) untuk mengelola urusan pemerintahan yang menjadi domain kewenangannya. Sebagai ilustrasi; jalan negara yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan optimal apabila tidak terkait dengan jalan Provinsi yang menjadi kewenangan Provinsi menggelolanya. Jalan Provinsi juga tidak akan optimal apabila t:dak terkait dengan jalan Kabupaten/Kota. Secara keseluruhan jaringan jalan tersebut merupakan suatu "sistem jalan" yang didukung oleh sub sistem jalan Negara, Plan Provinsi clan jalan Kabupaten/Kota. Setiap tingkatan pemerintahan tersebut mempunyai kewenangan penuh (independent) untuk mengelola " jalan" yang menjadi domain kewenangannya. Namun dalam menjalankan kewenangannya masing-masing, harus ada koordinasi diantara ketiga tingkatan pemerintahan tersebut, agar jalan sebagai suatu sistem dapat berfungsi secara optimal.
Hubungan kewenangan antara daerah otonom Provinsi dengan daerah otonom
Kabupaten/Kota tidaklah hirarkhis. Provinsi mempunyai kewenangan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang bersifat antar Kabupaten/Kota (regional) yang berdampak regional. Sedangkan Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan menangani urusan-urusan pemerintahan yang berskala lokal yang dampaknya lokal. Keterkaitan antara kewenangan dan dampak adalah untuk menjamin akuntabilitas dari penyelenggaraan otonomi daerah tersebut. Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota akan bertanggung jawab atas urusan-urusan pemerintahan yang berdampak lokal. Pemerintah Daerah Provinsi akan bertanggung jawab atas urusan-urusan pemerintahan yang berdampak regional.
Pemerintah Pusat bertanggung jawab secara nasional untuk menjamin agar otonomi daerah dapat berjalan secara optimal. Konsekwensinya Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawasi, memonitor, mengevaluasi dan memberdayakan Daerah agar mampu menjalankan otonominya secara efektive, efisien, ekonomis dan akuntabel. Untuk supervisi dan fasilitasi terhadap pelaksanaan otonomi di tingkat Provinsi dilakukan langsung oleh Pemerintah. Sedangkan untuk melakukan kegiatan supervise dan fasilitasi terhadap pelaksanaan otonomi di tingkat Kabupaten/Kota, mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas, tidak akan efektip dan efisien kalau dilakukan langsung oleh Pemerintah. Untuk itu Pemerintah berdasarkan prinsip "dekonsentrasi" menugaskan Gubernur selaku wakil Pemerintah di Daerah untuk melakukan kegiatan supervise dan fasilitasi tersebut.
Adalah sulit bagi Gubernur secara pribadi untuk melakukan tugas supervisi dan fasilitasi tersebut. Untuk itu seyogyanya Gubernur memerlukan adanya perangkat dekonsentrasi untuk membantu pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya selaku wakil Pusat di daerah. Untuk mencegah salah persepsi bahwa tujuannya bukan untuk menghidupkan Kanwil dimasa lalu, maka perangkat tersebut lebih optimal berbentuk jabatan fungsional yang bertugas membantu Gubernur secara sektoral ataupun limas sektor yang serumpun seperti ahli kesehatan, ahli pendidikan, ahli kehutanan, ahli keuangan dsb sesuai dengan "magnitude" pembinaan dan pengawasan yang diperlukan oleh Gubernur sebagai wakil Pusat di daerah. Perangkat dekonsentrasi tersebut sifatnya membantu kelancaran tugas Gubernur untuk melakukan supervisi dan fasilitasi terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di wilayahnya dalam melaksanakan otonominya. Pembiayaan dari Gubernur dan perangkat dekonsentrasi yang membantunya dibebankan kepada Pemerintah Pusat melalui APBN.

Daftar Pustaka

Buku :
Handayana, Soewarno. 1982. Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: CV Haji Masagung
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Internet :
http://sakatik.blogspot.com/2008/10/hubungan-pusat-dan-daerah-dari-aspek
http://ihsanefendiry.blogspot.com/2011/hubungan pusat dan daerah

Kerangka Legal Peraturan Yang Mengatur Tentang Otonomi Daerah Banyak Yang Tidak Jelas



10 Tahun Otda, Wewenang Gubernur Masih Ngambang
Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah (Meneg Otda) Prof Ryaas Rasyid menilai pemerintah pusat membiarkan tugas dan wewenang gubernur, selaku wakil pemerintah pusat, tidak jelas. Selama 10 tahun otonomi daerah yang berbasis kebupaten dilakukan, maka tugas dan wewenang gubernur ngambang.
Saat ini. Ryaas mengakui, gu-bemur tidak memiliki kewibawaan tersendiri dihadapan para bupatinya. Akibatnya konflik antara gubernur dengan walikota atau bupati terus dirasakan.Agar masalah kewenangan dan tugas gubernur ini tak berlarut-larut, Ryaas mengusulkan pemerintah pusat segera menerbitkan peraturan pemerintah yang jelas merinci tugas dan wewenang gubernur. Jadi, diperlukan peraturan pemerintah untuk mengatur kewenangan gubernur secara rinci sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Ini harus segera dilakukan agar konflik gu-bemur dengan bupati atau walikota bisa diatasi.
Kata Ryaas, bukan kali ini saja dirinya menyuarakan perlunya ada PP yang mengatur kewenangan gubernur tersebut. Pada 2001 lalu, di era pemerintahan (alm) Presiden Gus Dur, ide itu pernah diusulkannya, namun tidak ditanggapi.Karena itu, Ryaas mensinyalir bahwa sikap pemerintah pusat yang tidak merinci kewenangan gubernur itu bertujuan agar kewenangan Jakarta (pemerintah pusat) tidak berkurang.
Anggota DPD asal Sumatera Barat Alir-man Sori. Alirman menilai beberapa bupati kerap melangkahi kewenangan gubernur. Hal ini disebabkan bupati memiliki kewenangan otonomi daerah yang lebih besar ketimbang gubernur.Gubernur tidak mengetahui apa yang menjadi tugas dan kewenangannya di daerah. Kewenangan gubernur tidak jelas ini menyebabkan banyak bupati lompat pagar melewati gubernur dan terjadi carut-marut pemerintahan di daerah.
Padahal, dalam Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah memiliki fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi urusan pemerintahan di daerah serta tugas pembantuan. Tapi penjabaran lebih lanjut apa yang mesti dibina, diawasi dan dikoordinasikan atau bagaimana mekanismenya belum diatur secara jelas oleh pemerintah pusat.
Tumpang Tindih dan Inkonsistensi Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan yang ada masih banyak yang tumpang tindih, inkonsisten dan bertentangan antara peraturan yang sederajat satu dengan lainnya, antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dan antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di bawahnya. Inventarisasi yang dilakukan oleh Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah menemukan hanya 14,8 persen, dari sebanyak 709 perda yang diteliti, secara umum tidak bermasalah. Sisanya, sebesar 85,2 persen perda yang dibuat oleh 134 daerah tingkat II merupakan perda-perda yang bermasalah. Masalah terbesar dari pengaturan perda-perda yang bermasalah tersebut antara lain terkait dengan kejelasan prosedur antara lain standar waktu, biaya, prosedur, tariff, dan lainnya dengan persentase sebesar 22,7 persen, dan permasalahan acuan yuridis yang tidak disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan tingkat pusat dengan persentase sebesar 15,7 persen.


Hubungan Perda Provinsi dan Perda Kabupaten Tidak Jelas
Pengaturan mengenai pembentukan Peraturan Daerah (Perda) di Indonesia memperlihatkan ketidaktaatan asas. Menurut pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Perda dan peraturan-peraturan lain ditetapkan oleh pemerintahan daerah. Sementara, berdasarkan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Perda dibuat oleh DPRD bersama kepada daerah. Sebaliknya, bagian Penjelasan Umum butir 7 UU Pemda tersebut, Perda dibuat oleh DPRD bersama dengan pemerintah daerah. Pada Undang-Undang yang sama, pasal 136, disebutkan bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.

Selain itu, bahwa Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda tidak mengatur hubungan antara Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Sehingga tidak jelas apakah hubungannya hierarkis atau setara. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menghendaki hubungan provinsi dan kabupaten/kota bersifat hierarkis. Hal ini juga dapat dirujuk ke TAP No. IV/MPR/2000 yang menghendaki otonomi daerah yang bertingkat dari provinsi sampai ke desa. Tetapi kalau merujuk pada UU No. 10 Tahun 2004, Perda Provinsi berkedudukan lebih tinggi dibanding Perda Kabupaten/Kota.

Undang-Undang Pemda membedakan tiga jenis produk hukum daerah otonom: dua produk hukum berupa pengaturan (yaitu Perda dan Peraturan Kepala Daerah), dan satu berupa pengurusan (SK Kepala Daerah). Dua yang pertama memiliki norma yang umum dan abstrak, sedangkan yang terakhir bersifat penetapan yang bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Kewenangan Otonomi Daerah Belum Jelas
Pelaksanaan Otonomi Daerah masih terkendala karena belum adanya pembagian kewenangan yang jelas antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi serta Kabupaten / Kota. Hingga kini, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota belum selesai dibahas oleh pemerintah.
Prinsip otonomi daerah sangat terganggu dengan belum adanya pembagian kewenangan ini. Padahal, kunci keberhasilan otonomi daerah adalah keterpaduan antarsektor dan antardaerah. Selain pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang belum ada, masalah lainnya adalah undang-undang sektoral yang belum disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sampai sekarang UU di tiap sektoral masih eksis dan kalau nanti pembagian kewenangan itu hanya diatur dalam peraturan pemerintah, maka tidak akan kuat. Pembagian kewenangan untuk pusat dan daerah diatur serta ditetapkan dalam konstitusi, bukan di peraturan pemerintah.

Nama Kelompok :
1) Ikhsan Efendi
2) Parlindungan Ritonga
3) Rahim Lubis

Birokrasi

Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata Biro (meja) dan Kratein (pemerintahan) yang disintesakan berarti Pemerintahan Meja. Tentu agak lucu pengertian seperti ini, tetapi memang demikianlah hakikat birokrasi oleh sebab lembaga inilah tampak kaku yang dikuasai oleh orang-orang di belakang meja.
Di dalam pendekatan Institusional (kelembagaan), khususnya di dalam skema, tercantum lalu lintas administrasi Negara dari eksekutif turun ke Kebijakan Administrasi, lalu ke Administrasi dan yang terakhir ke pemilih. Artinya, setiap kebijakan negara yang diselenggarakan pihak eksekutif diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan Administrasi Negara, di mana pelaksanaan dari administrasi tersebut dilakukan oleh lembaga birokrasi. Kita mungkin mengenal badan-badan seperti Departemen, Kanwil, Kantor Kelurahan, Kantor Samsat, di mana kantoo-kantor tersebut semua merupakan badan-badan birokrasi Negara yang mengimplemantasikan kebijakan Negara dan bersifat langsung berhubungan dengan masyarakat.
Michale G. Roskin, menyebut penertian birokrasi. Bagi mereka birokrasi adalah setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri atas para pejabat yang diangkat, di mana fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan. Idealnya, birokrasi merupakan system rasional atau struktur yang terorganisir yang dirancang sedemikian rupa guna memungkinkan adanya pelaksanaan kebijakan public yang efektif dan efisien.
Birokrasi juga dioperasikan oleh serangkaian aturan serta prosedur yang bersifat tetap. Terdapat rantai komando berupa hirarki kewenangan di mana tanggungjawab setiap bagiannya mengalir dari atas ke bawah. Selain itu, birokrasi juga disebut sebagai badan yang menyelenggarakan Pelayanan Publik. Birokrasi terdiri dari orang-orang yang diangkat oleh eksekutif, dan posisi mereka ini dating dan pergi. Artinya, mereka duduk di dalam birokrasi kadang dikeluarkan atau tetap dipertahankan berdasarkan prestasi kerja mereka. Seorang pegawai birokrasi yang malas biasanya akan mendapat teguran dari atasan, yang jika diteguran ini tidak digubris, ia kemungkinan besar akan diberhentikan dari posisinya. Namun, jika seorang pegawai menunjukkan prestasi kerja yang memuaskan, ada kemungkinan ia akan dipromosikan untuk mendapat posisi yang lebih tinggi.
Fungsi Birokrasi dan Peran Birokrasi
1 Melaksanakan pelayanan public.
2 Melaksanakan pembangunan professional.
3 Perencanaan, pengawas, dan pelaksana kebijakan
4 Alat Negara sebagai pelayan kepentingan masyarakat.
Karakteristik Birokrasi
Karakteristik birokrasi yang umum diacu adalah yang diajukan oleh Max Weber. Menurut Weber, paling tidak terdapat 8 karakteristik birokrasi, yaitu:
1 Organisasi yang disusun secara hirarkis.
2 Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.
3 Pelayanan public terdiri atas orang-orang yang diangkat, bukan dipilih, di mana pengangkatan tersebut didasarkan kepada kualifikasi, kemampuan, jenjang pendidikan, atau pengujian.
4 Seorang pelayan public menerima gaji pokok berdasarkan posisi.
5 Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir.
6 Para pejabat tidak memiliki sendiri kantor mereka.
7 Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.
8 Promosi yang ada didasarkan atas penilaian atasan.
Ditinjau secara politik, karakteristik birokrasi menurut Weber hanya menyebut hal-hal yang ideal. Artinya, terkadang pola pengangkatan pegawai di dalam birokrasi yang seharusnya didasarkan atas jenjang pendidikan atau hasil ujian, kerap tidak terlaksana. Ini diakibatkan masih berlangsungnya pola pengangkatan pegawai berdasarkan kepentingan pemerintah.
Jika berbicara tentang birokrasi tidak terlepas dari sistem otorita .Dalam membahas mengenai otorita. Weber mengajukan 3 tipe idealnya yang terdiri dari:
1 Otorita tradisional
Otorita tradisional mendasarkan diri pada pola pengawasan di mana legitimasi diletakkan pada loyalitas bawahan kepada atasan
2 Otorita Kharismatik
Sedang otorita kharismatik menunjukkan legitimasi yang didasarkan atas sifat-sifat pribadi yang luar biasa.
3 Legal Rasional
Adapun otorita legal rasional kepatuhan bawahan di dasarkan atas legalitas formal dan dalam yurisdiksi resmi.
Ada dua pandangan dalam merumuskan birokrasi, yaitu:
a. Memandang birokrasi sebagai alat atau mekanisme.
b. Memandang birokrasi sebagai instrumen kekuasaan.
Pentingnya Birokrasi
1 Teori yang lama memandang birokrasi sebagai instrumen politik. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, teori tersebut ditolak, dengan menyatakan pentingnya peranan birokrasi dalam seluruh tahapan atau proses kebijakan publik.
2 Dalam membahas birokrasi ada tiga pertanyaan pokok yang harus diperhatikan:
a) Bagaimana para birokrat dipilih,
b) Apakah peranan birokrat dalam pembuatan keputusan, dan
c) Bagaimana para birokrat diperintah. Dalam hubungannya dengan pertanyaan kedua, hal pertama yang perlu disadari adalah ada perbedaan antara proses pembuatan keputusan yang aktual dengan yang formal. Dalam kenyataan birokrat merupakan bagian dari para pembuat keputusan.
3 Pentingnya peranan birokrasi amat menonjol dalam negara-negara sedang berkembang di mana mereka semuanya telah memberikan prioritas kegiatannya pada penyelenggaraan pembangunan nasional. Di negara-negara ini birokrasi berperan sebagai motor dan penggerak pembangunan. Secara khusus peranan dan pentingnya arti birokrasi tertampilkan dalam fungsinya sebagai pemrakarsa usul pembuatan kebijakan, penasihat dalam kebijakan dan sebagai inovator dan penyedia sumber.
Peran Birokrasi dalam Pemerintahan Modern
Ada 4 fungsi birokrasi di dalam suatu pemerintahan modern:
1 Administrasi
2 Pelayanan
3 Pengaturan
4 Pengumpul Informasi
Kelemahan dan Problema dalam Birokrasi
A. Kelemahan-kelemahan birokrasi terletak dalam hal:
a) Penetapan standar efisiensi yang dapat dilaksanakan secara fungsional.
b) Kecenderungan birokrat untuk menyelewengkan tujuan-tujuan organisasi.
B. Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam birokrasi sebenarnya tidak berarti bahwa birokrasi adalah satu bentuk organisasi yang negatif, tetapi seperti dikemukakan oleh K. Merton lebih merupakan bureaucratic dysfunction.
C. Usaha untuk memperbaiki penampilan birokrasi diajukan dalam bentuk teori birokrasi sistem perwakilan. Asumsi yang dipergunakan adalah bahwa birokrat di pengaruhi oleh pandangan nilai-nilai kelompok sosial dari mana ia berasal. Pada gilirannya aktivitas administrasi diorientasikan pada kepentingan kelompok sosialnya. Sementara itu, kontrol internal tidak dapat dijalankan. Sehingga dengan birokrasi sistem perwakilan diharapkan dapat diterapkan mekanisme kontrol internal. Teori birokrasi sistem perwakilan secara konseptual amat merangsang, tetapi tidak mungkin untuk diterapkan. Karena teori ini tidak realistik, tidak jelas kriteria keperwakilan, emosional dan mengabaikan peranan pendidikan. Menurut pendapat Robert Presthus birokrasi tetap diperlukan. Karena ternyata birokrasi merupakan satu bentuk organisasi yang amat adaptif terhadap program-program yang berbeda. Tetapi, Warren Bennis mengantisipasi bahwa birokrasi akan berakhir 25 atau 50 tahun yang akan datang karena dua hal:
a) Ketidakmampuan birokrasi untuk menyelesaikan konflik mengenai tujuan pribadi dan organisasi.
b) Revolusi ilmu dan teknologi.


Daftar Pustaka
http://setabasri01. Blogspot.com/2009/02/birokrasi.html