Powered By Blogger

Jumat, 24 Juni 2011

Kerangka Legal Peraturan Yang Mengatur Tentang Otonomi Daerah Banyak Yang Tidak Jelas



10 Tahun Otda, Wewenang Gubernur Masih Ngambang
Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah (Meneg Otda) Prof Ryaas Rasyid menilai pemerintah pusat membiarkan tugas dan wewenang gubernur, selaku wakil pemerintah pusat, tidak jelas. Selama 10 tahun otonomi daerah yang berbasis kebupaten dilakukan, maka tugas dan wewenang gubernur ngambang.
Saat ini. Ryaas mengakui, gu-bemur tidak memiliki kewibawaan tersendiri dihadapan para bupatinya. Akibatnya konflik antara gubernur dengan walikota atau bupati terus dirasakan.Agar masalah kewenangan dan tugas gubernur ini tak berlarut-larut, Ryaas mengusulkan pemerintah pusat segera menerbitkan peraturan pemerintah yang jelas merinci tugas dan wewenang gubernur. Jadi, diperlukan peraturan pemerintah untuk mengatur kewenangan gubernur secara rinci sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Ini harus segera dilakukan agar konflik gu-bemur dengan bupati atau walikota bisa diatasi.
Kata Ryaas, bukan kali ini saja dirinya menyuarakan perlunya ada PP yang mengatur kewenangan gubernur tersebut. Pada 2001 lalu, di era pemerintahan (alm) Presiden Gus Dur, ide itu pernah diusulkannya, namun tidak ditanggapi.Karena itu, Ryaas mensinyalir bahwa sikap pemerintah pusat yang tidak merinci kewenangan gubernur itu bertujuan agar kewenangan Jakarta (pemerintah pusat) tidak berkurang.
Anggota DPD asal Sumatera Barat Alir-man Sori. Alirman menilai beberapa bupati kerap melangkahi kewenangan gubernur. Hal ini disebabkan bupati memiliki kewenangan otonomi daerah yang lebih besar ketimbang gubernur.Gubernur tidak mengetahui apa yang menjadi tugas dan kewenangannya di daerah. Kewenangan gubernur tidak jelas ini menyebabkan banyak bupati lompat pagar melewati gubernur dan terjadi carut-marut pemerintahan di daerah.
Padahal, dalam Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah memiliki fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi urusan pemerintahan di daerah serta tugas pembantuan. Tapi penjabaran lebih lanjut apa yang mesti dibina, diawasi dan dikoordinasikan atau bagaimana mekanismenya belum diatur secara jelas oleh pemerintah pusat.
Tumpang Tindih dan Inkonsistensi Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan yang ada masih banyak yang tumpang tindih, inkonsisten dan bertentangan antara peraturan yang sederajat satu dengan lainnya, antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dan antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di bawahnya. Inventarisasi yang dilakukan oleh Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah menemukan hanya 14,8 persen, dari sebanyak 709 perda yang diteliti, secara umum tidak bermasalah. Sisanya, sebesar 85,2 persen perda yang dibuat oleh 134 daerah tingkat II merupakan perda-perda yang bermasalah. Masalah terbesar dari pengaturan perda-perda yang bermasalah tersebut antara lain terkait dengan kejelasan prosedur antara lain standar waktu, biaya, prosedur, tariff, dan lainnya dengan persentase sebesar 22,7 persen, dan permasalahan acuan yuridis yang tidak disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan tingkat pusat dengan persentase sebesar 15,7 persen.


Hubungan Perda Provinsi dan Perda Kabupaten Tidak Jelas
Pengaturan mengenai pembentukan Peraturan Daerah (Perda) di Indonesia memperlihatkan ketidaktaatan asas. Menurut pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Perda dan peraturan-peraturan lain ditetapkan oleh pemerintahan daerah. Sementara, berdasarkan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Perda dibuat oleh DPRD bersama kepada daerah. Sebaliknya, bagian Penjelasan Umum butir 7 UU Pemda tersebut, Perda dibuat oleh DPRD bersama dengan pemerintah daerah. Pada Undang-Undang yang sama, pasal 136, disebutkan bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.

Selain itu, bahwa Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda tidak mengatur hubungan antara Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Sehingga tidak jelas apakah hubungannya hierarkis atau setara. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menghendaki hubungan provinsi dan kabupaten/kota bersifat hierarkis. Hal ini juga dapat dirujuk ke TAP No. IV/MPR/2000 yang menghendaki otonomi daerah yang bertingkat dari provinsi sampai ke desa. Tetapi kalau merujuk pada UU No. 10 Tahun 2004, Perda Provinsi berkedudukan lebih tinggi dibanding Perda Kabupaten/Kota.

Undang-Undang Pemda membedakan tiga jenis produk hukum daerah otonom: dua produk hukum berupa pengaturan (yaitu Perda dan Peraturan Kepala Daerah), dan satu berupa pengurusan (SK Kepala Daerah). Dua yang pertama memiliki norma yang umum dan abstrak, sedangkan yang terakhir bersifat penetapan yang bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Kewenangan Otonomi Daerah Belum Jelas
Pelaksanaan Otonomi Daerah masih terkendala karena belum adanya pembagian kewenangan yang jelas antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi serta Kabupaten / Kota. Hingga kini, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota belum selesai dibahas oleh pemerintah.
Prinsip otonomi daerah sangat terganggu dengan belum adanya pembagian kewenangan ini. Padahal, kunci keberhasilan otonomi daerah adalah keterpaduan antarsektor dan antardaerah. Selain pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang belum ada, masalah lainnya adalah undang-undang sektoral yang belum disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sampai sekarang UU di tiap sektoral masih eksis dan kalau nanti pembagian kewenangan itu hanya diatur dalam peraturan pemerintah, maka tidak akan kuat. Pembagian kewenangan untuk pusat dan daerah diatur serta ditetapkan dalam konstitusi, bukan di peraturan pemerintah.

Nama Kelompok :
1) Ikhsan Efendi
2) Parlindungan Ritonga
3) Rahim Lubis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar