Powered By Blogger

Kamis, 19 Mei 2011

Strategi dan Kebijakan Pemerintah dalam Menanggulangi Pengangguran



A. PENDAHULUAN
Salah satu masalah pokok yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia adalah masalah pengangguran. Pengangguran yang tinggi berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap kemiskinan, kriminalitas dan masalah-masalah sosial politik yang juga semakin meningkat. Dengan jumlah angkatan kerja yang cukup besar, arus migrasi yang terus mengalir, serta dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini, membuat permasalahan tenaga kerja menjadi sangat besar dan kompleks.
Memang masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi.
Hal ini akibat dari krisis finansial yang memporak-porandakan perkonomian nasional, banyak para pengusaha yang bangkrut karena dililit hutang bank atau hutang ke rekan bisnis. Begitu banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di-PHK oleh perusahaan di mana tempat ia bekerja dalam rangka pengurangan besarnya biaya yang dipakai untuk membayar gaji para pekerjanya. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya ledakan pengangguran yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif singkat.
Awal ledakan pengangguran sebenarnya bisa diketahui sejak sekitar tahun 1997 akhir atau 1998 awal. Ketika terjadi krisis moneter yang hebat melanda Asia khususnya Asia Tenggara mendorong terciptanya likuiditas ketat sebagai reaksi terhadap gejolak moneter di Indonesia, kebijakan likuidasi atas 16 bank akhir November 1997 saja sudah bisa membuat sekitar 8000 karyawannya menganggur.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap sekitar 1,3 juta orang dari tambahan angkatan kerja sekitar 2,7 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampaui 10 juta orang.
Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data pada tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang ideal bagi negara berkembang macam Indonesia adalah di atas 6%. Jika masalah pengangguran yang demikian pelik dibiarkan berlarut-larut maka sangat besar kemungkinannya untuk mendorong suatu krisis sosial. yang terjadi tidak saja menimpa para pencari kerja yang baru lulus sekolah, melainkan juga menimpa orangtua yang kehilangan pekerjaan karena kantor dan pabriknya tutup. Indikator masalah sosial bisa dilihat dari begitu banyaknya anak-anak yang mulai turun ke jalan. Mereka menjadi pengamen, pedagang asongan maupun pelaku tindak kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik.
Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran dinegara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal.
Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlalu melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
B. PEMBAHASAN
Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, listrik, air bersih dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan.
Oleh karena itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesuai dengan UUD 45 pasal 27 ayat 2. Sebagai solusi pengangguran berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, untuk itu diperlukan kebijakan yaitu :
1. Pemerintah memberikan bantuan wawasan, pengetahuan dan kemampuan jiwa kewirausahaan kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berupa bimbingan teknis dan manajemen memberikan bantuan modal lunak jangka panjang, perluasan pasar. Serta pemberian fasilitas khusus agar dapat tumbuh secara mandiri dan andal bersaing di bidangnya.Mendorong terbentuknya kelompok usaha bersama dan lingkungan usaha yang menunjang dan mendorong terwujudnya pengusaha kecil dan menengah yang mampu mengembangkan usaha, menguasai teknologi dan informasi pasar dan peningkatan pola kemitraan UKM dengan BUMN, BUMD, BUMS dan pihak lainnya.
2. Segera melakukan pembenahan, pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya daerah yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia.
3. Segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Seperti PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan terdata dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci.
4. Segera menyederhanakan perizinan dan peningkatan keamanan karena terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing maupun Penanaman Modal Dalam Negeri. Hal itu perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan iklim investasi yang kondusif untuk menciptakan lapangan kerja.
5. Mengembangkan sektor pariwisata dan kebudayaan Indonesia (khususnya daerah-daerah yang belum tergali potensinya) dengan melakukan promosi-promosi keberbagai negara untuk menarik para wisatawan asing, mengundang para investor untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan yang nantinya akan banyak menyerap tenaga kerja daerah setempat.
6. Melakukan program sinergi antar BUMN atau BUMS yang memiliki keterkaitan usaha atau hasil produksi akan saling mengisi kebutuhan. Dengan sinergi tersebut maka kegiatan proses produksi akan menjadi lebih efisien dan murah karena pengadaan bahan baku bisa dilakukan secara bersama-sama.
7. Dengan memperlambat laju pertumbuhan penduduk (meminimalisirkan menikah pada usia dini) yang diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan sisi angkatan kerja baru atau melancarkan sistem transmigrasi dengan mengalokasikan penduduk padat ke daerah yang jarang penduduk dengan difasilitasi sektor pertanian, perkebunan atau peternakan oleh pemerintah.
8. Menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi secara ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil. Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
9. Segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan yang berorientasi kompetensi. Karena sebagian besar para penganggur adalah para lulusan perguruan tinggi yang tidak siap menghadapi dunia kerja.
10. Segera mengembangkan potensi kelautan dan pertanian. Karena Indonesia mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim dan agraris. Potensi kelautan dan pertanian Indonesia perlu dikelola secara baik dan profesional supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif.
C. KESIMPULAN
Pengangguran adalah problem yang terus menumpuk. Bertambah dari tahun ke tahun. Persoalan pengangguran bukan sekedar bertumpu pada makin menyempitnya dunia kerja, tetapi juga rendahnya kualitas SDM (sumber daya manusia) yang kita punyai.
Beberapa masalah lain yang juga berpengaruh terhadap ketenagakerjaan adalah masih rendahnya arus masuk modal asing, perilaku proteksionis sejumlah negara-negara maju dalam menerima ekspor komoditi, Beberapa masalah lain yang juga berpengaruh terhadap ketenagakerjaan adalah masih rendahnya arus masuk modal asing (investasi), stabilitas keamanan, perilaku proteksionis (travel warning) sejumlah Negara-negara barat terhadap Indonesia, perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan global yang menjadikan krisis pangan didunia, harga minyak dunia naik, pasar global dan berbagai perilaku birokrasi yang kurang kondusif atau cenderung mempersulit bagi pengembangan usaha, serta tekanan kenaikan upah buruh ditengah dunia usaha yang masih lesu.
Disamping masalah-masalah tersebut diatas, faktor-faktor seperti kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan karyawan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik juga sangat berpengaruh terhadap ketenagakerjaan di Indonesia.
Semua permasalahan hal diatas tampaknya sudah dipahami oleh pembuat kebijakan (Decision Maker). Namun hal yang tampaknya kurang dipahami adalah bahwa masalah ketenagakerjaan atau pengangguran bersifat multidimensi, sehingga juga memerlukan cara pemecahan yang multidimensi pula.


DAFTAR PUSTAKA
Friedrik, J. Carl. 1963. Man and His Government. New York : Mc Graw Hill.
Drs. Islamy, M. Irfan, MPA. 1988. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta : PT. Bina Aksara.
Jawa Pos. Kamis 27 Maret, 2008.Atasi pengangguran, Butuh Sinergi, Hlm.9.
http://www.datastatistik-indonesia.com
http://www.organisasi.org

Rabu, 18 Mei 2011

HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DILIHAT DARI SEGI KELEMBAGAAN



A. Peran Kepala Daerah Sebagai Pelaksana dan Subjek Penghubung Derah dan Pemerintah Pusat.
Dalam konteks hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah, Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memilki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintah darah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan kewenangan, keuangan, pelayanan umum, pemenfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Dianutnya Desentralisasi dalam organisasi Negara tidak berarti ditinggalkannya asas Sentralisasi, karena kedua asas tersebut tidak bersifat dikotomis melainkan kontinum.
Pemerintah Pusat dan Kepala Daerah merupakan satu perahu yang mesti sama-sama menjalankan satu garis kebijakan. Proses Demokrasi akan berjalan apabila semua embrio yang ada dalan suatu Negara berjalan bersama dengan saling mengontrol dan mengawasinya. Para Kepala Daerah tidak boleh takut menolak kebijakan-kebijakan pusat yang bertentangan atau tidak sesuai dengan daerahnya, karena kritik dan masukan dari daerahlah yang dapat membantu membangun bangsa ini.
Adapun wewenang, tugas, atau peran Kepala Daerah sebagai pelaksana dan subjek penghubung daerah dengan pemerintah pusat antara lain :
a. Memimpin penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
b. Mengajukan rancangan Perda.
c. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.
f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hokum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan Perundang-undangan, dan
g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kepala Daerah mempunyai kewajiban ubtuk memberikan laporan penyelengaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat. Laporan penyelengaraan Kepala Daerah kepada Pemerintah disampaikan kepda Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota satu kali dalam satu tahun.
Didalam urusan Peraturan Daerah, rancangan Perda Kepala Daerah dan DPRD yang mempersiaakan rancangan Perda yang berasal dari Kepala Daerah diatur dengan Peraturan Presiden. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerah. Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada daerah untuk ditetapkan sebagai Perda.
Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan Perundang-undangan. Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan Perundang-undangan, keapal Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Peraturan Kepala Daerah dan atau keputusan Kepala Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum , Perda, dan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan Perundang-undangan, Kepala Daerah menetapkan peraturan Kepala Daerah dan atau keputusan Kepala Daerah.
Rancangan Perda tentang APBD yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh Kepala Daerah paling lama disampaikan tiga hari kepada Gubernur untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaiakan kepada Gubernur paling lambat 15 hari sejak diterimanya rancangan Perda tentang APBD tersebut.
Didalam kewenangan, system rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas, dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut, yaitu daerah-daerah akan memilki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.
Pada umumnya, hubungan antara Kepala Daerah dan Pemerintah Pusat juda Terefleksi dalam Intergovermental Fiscal Relations. Pelimpahan tugas kepada Kepala Daerah juga disertai dengan pelimpahan keuangan, pendelegasian pengeluaran sebagai konsekuensi diberikannya kewenangan yang luas serta tanggungjawab pelayanan public tentunya harus diikuti dengan adanya pendelegasian pendapatan. Hubungan keuangan Pusat dan Daerah dimanapun sangat dipandang dalam menentukan kemandirian Otonomi. Inti hubungan keuangan Pusat dan Daerah adalah perimbangan keuangan Kepala Daerah dalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaan, Kepala Daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban serta pengawasan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah.



B. Hubungan Kerja Kepala Daerah dengan DPRD
Kepala Daerah berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD tentang pelaksanaan Pemerintahan Daerah yang dipimpinnya, karena DPRD adalah salah satu unsure Pemerintah Daerah.
Kepala Daerah bersama DPRD mempunyai tugas-tugas sebagai berikut :
1. Membuat Peraturan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangannya dalam berbagai bidang. Peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini Undang-undang dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.
2. Menggali sumber keuangan untuk menyelenggarakan rumah tangganya dengan jalan mengadakan Pajak, menarik retribusi terhadap jasa-jasa yang diberikan kepada penduduk, dan mengadakan pinjaman.
3. Berhak menguisahakan sumber daya yang ada di daerahnya.
4. Melaksanakan pengawasan terhadsap pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, peraturan Kepala Daerah, APBD, kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah, dan kerja sama Internasioanl di daerah.
5. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana perjanjian Internasional di daerah.
Dalam Pemerintahan Daerah, DPRD pada hakekatnya disamping merupakan badan resmi yang mewakili rakyat juga sebagai mitra eksekutif dalam merumuskan kebijakan dalam rangka menjalankan roda Pemerintahan Daerah. Selain itu kedua lembaga tersebut mempunyai kedudukan yang sejajar.
Dalam kedudukannya sebagai badan Legislatif daerah, DPRD bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah. Dengan tanpa menguraikan makna mitra itu sendiri secara lebih mendetail. Namun sebagai lembaga Pemerintah Daerah, DPRD mempunyai kedudukan setara dan memiliki hubungan kerja bersifat kemitraan dengan Pemerintah Daerah, hal ini sebagaiman diatur dalam undang-undang No. 32 tahun 2004. Kedudukan yang setara bermakna bahwa antara DPRD dan Pemerintah Daerah memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam arti tidak saling membawahi. Hubungan bersifat kemitraan berarti DPRD merupakan mitra kerja Pemerintah Daerahdalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan Otonomi Daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Berdasarkan hal tersebut antar kedua lembaga wajib memelihara dan membangun hubungan kerja yang harmonis dan satu sama lain harus saling mendukung, bukan sebagai lawan atau pesaing.
Untuk terjalinnya hubungan kerja yang harmonis dan saling mendukung, diperlukan adanya pengaturan tentang hak-hak protokoler dan keuangan Pimpinan dan anggota DPRD. Hal tersebut agar masing-masing memperoleh hak dan melaksanakan kewajiban meningkatkan peran dan tanggungjawab mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakn tugas dan kewenangannya, mengembangkan hubungan dan mekanisme checks and balances antara lembaga Legislatif dan Eksekutif, meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Kemitraan dan kesejajaran ini selain dapat dilihat dari penelitian atau pengambilan kebijakan secara bersama-sama, juga dapat dilihat dari pengaturan akan setiap penyelenggaraan pelaksanaan acara kenegaraan atau secara resmi pengaturan akan posisi pimpinan dan anggota DPRD pada setiap acara yang digelar secara resmi. Oleh sebab itu, lembaga DPRD merupakan badan legislative daerah yang berfungsi menetapkan tugas pemerintahan dibidang politik, sedangkan Pemerintah Daerah sebagai badan Eksekutif daerah, berfungsi menyelenggarakan pelaksanakan dari pada Garis-garir Besar Haluan Pembanguna Daerah (GBHD) yang telah ditetapkan oleh badan legislative daerah.
Pada prinsipnya urgensi jenis hubungan antara eksekutif dan legislative tersebut meliputi hal-hal, yaitu : reprentasi, anggaran, pertanggungjawaban, pembuatan Peraturan Daerah, pengangkatan Sekretaris Daerah, pembinaan, dan pengawasan. Hubungan Eksekutif dan Legislatif mengemukakan tiga pola hubungan Legislatif-Eksekutif yang secara realistic dapat dikembangkan. Ketiga hubungan itu adalah :
1) Bentuk komunikasi dan tukar menukar informasi.
2) Bentuk kerjasama atas beberapa subjek, program, masalah, dan pengembangan regulasi.
3) Kalrifikasi atas berbagai permasalahan.
Ketiga bentuk hubungan tersebut berbeda-beda dalam peran dan aktualisasi masing-masing pihak, baik eksekutif maupun legislative dan yang paling berat dirasakan kedua belah pihak mungkin dalam hubungan klarifikasi. Namun, kolaborasi tersebut hanya mungkin menjadi kenyataan jika dikembangkan etika yang dapat merefleksikan bahwa DPRD bukan sebagai ancaman tetapi lembaga yang bekerja untuk kepentingan masyarakat. Sebaliknya Pemerintah Daerah diharapkan mampu menciptakan suasana kondusif yang dapat mendorong DPRD bekerja secara independent dan tetap kritis.
C. Hubungan Kerja Pemerintah Daerah dengan Lembaga Lain Pada Tingkat Lokal
Salah satu hubungan kerja Pemerintah Daerah dengan lembaga-lembaga lain ditingkat local ialah kewenangan untuk menjalankan koordinasi atau kegiatan antar lembaga-lembaga local baik dalam pelaksanaan untuk mencapai dayaguna dan hasilguna yang sebaik-baiknya dan berupa pemberian laporan rencana dan kegiatan dari lembaga-lembaga lain tersebut kepada Pemerintah Daerah. Dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga lain ditingkat local, Pemerintah Daerah harus selalu memperhatikan dan tidak boleh bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berhubung dengan diberikannya tugas koordinasi kepada daerah, maka lembaga-lembaga lain ditingkat local berada dibawah koordinasi Pemerintah Daerah selaku wakil pemerinttah. Dalam hubungan itu, lembaga-lembaga lain tersebut wajib melaporkan segala rencana dan kegiatan, member keterangan-keterangan yang diminta dan mematuhi petunjuk-petunjuk umum yang diberikan Pemerintah Daerah.


Daftar Pustaka
Buku :
Pamudji, S. 1983. Kerjasama Antar Daerah. Jakarta: Media Aksara
Widiyanti, Ninik. 1987. Kepala Daerah dan Pengawasan dari Pusat. Jakarta: Bumi Aksara

Internet :
http://sakatik.blogspot.com/2008/10/hubungan-pusat-dan-daerah-dari-aspek

Senin, 09 Mei 2011

HAKIKAT MANUSIA



Berbicara tentang manusia maka satu pertanyaan klasik yang sampai saat ini belum memperoleh jawaban yang memuaskan adalah pertanyaan tentang siapakah manusia itu. Banyak teori telah dikemukakan, di antaranya adalah pemikiran dari aliran materialisme, idealisme, realisme klasik, dan teologis.
Aliran materialisme mempunyai pemikiran bahwa materi atau zat merupakan satu-satunya kenyataan dan semua peristiwa terjadi karena proses material ini, sementara manusia juga dianggap juga ditentukan oleh proses-proses material ini.
Sedangkan aliran idealisme beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian. Aliran realisme klasik beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian, dan aliran teologis membedakan manusia dari makhluk lain karena hubungannya dengan Tuhan.
Di samping itu, beberapa ahli telah berusaha merekonstruksikan kedudukan manusia di antara makhluk lainnya. Juga berusaha membandingkan manusia dengan makhluk lainnya. Dari hasil perbandingan tersebut ditemukan bahwa semua makhluk mempunyai dorongan yang bersifat naluriah yang termuat dalam gen mereka.
Sementara yang membedakan manusia dari makhluk lainnya adalah kemampuan manusia dalam hal pengetahuan dan perasaan. Pengetahuan manusia jauh lebih berkembang daripada pengetahuan makhluk lainnya, sementara melalui perasaan manusia mengembangkan eksistensi kemanusiaannya.

Rabu, 04 Mei 2011

ANATOMI HUBUNGAN PUSAT DAERAH

ANATOMI HUBUNGAN PUSAT DAERAH
A. KOORDINASI PEMERINTAHAN
(1) Pengertian Koordinasi dan Hubungan Kerja
Jame D. Mooney, mendefenisikan koordinasi sebagai pencapaian usaha kelompok secara teratur dan kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama.
Hubungan Kerja ialah keseluruhan rangkaian kegiatan antar satuan-satuan kerja organisasi yang satu dengan lainnya merupakan kebulatan yang utuh dalam rangka mencapai tujuan organisasi sebagai keseluruhan secara efektive dan efisien.
(2) Fungsi dan Sistem Koordinasi
Fungsi Koordinasi
a) Koordinasi adalah salah satu fungsi managemen, di samping adanya fungsi perencanaan, penyusunan pegawai, pembinaan kerja, motivasi dan pengawasan.
b) Koordinasi merupakan usaha untuk menjamin kelanncaran mekanisme prosedur kerja dari berbagai komponen dalam organisasi.
c) Koordinasi adalah merupakan usaha yang mengarahkan dan menyatukan kegiatan dari satuan kerja organisasi, sehingga organisasi bergerak sebagai kesatuan yang bulat guna melaksanakan seluruh tugas organisasi yang diperlukan untuk mencapai tujuannya.
d) Koordinasi adalah factor dominan yang perlu diperhatikan bagi kelangsungan hidup suatu oraganisasi.
e) Koordinasi tetap memainkan peranan yang penting dalam merumuskan pembagian tugas, wewenang, dan tanggungjawab.
f) Pertumbuhan organisasi berarti penambahan beban kerja atau fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan oleh organisasi yang bersangkutan.
g) Timbulnya spesialisasi yang semakin tajam merupakan konsekuensi logis dari pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang perlu diperhatikan oleh organisasi dengan harapan para spesialis ini memainkan peranan yang tidak lepas kaitannya dengan hal-hal yang lebih umum dan lebih luas.

Pendekatan Sistem ( system approach )
Pendekatan system koordinasi dan hubungan kerja terdiri atas :
a) Pendekatan antar disiplin
b) Pendekatan multi fungsional
c) Pendekatan lintas sektoral.

(3) Metode dan Teknik Koordinasi
1 Koordinasi melalui kewenangan
2 Koordinasi melalui consensus
3 Koordinasi melalui Pedoman Kerja
4 Koordinasi melalui suatu forum
5 Koordinasi melalui konferensi.
Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
1. Pengertian
Yang dimaksud Hubungan Pusat dan Daerah adalah hubungan antara aparatur pemerintah Pusat sebagai keseluruhan dengan aparaturPemerintah di Daerah, termasuk hubungan suatu unit aparatur Pemerintah Pusat dengan unit Pemerintah di Daerah.
Yang dimaksud unit Pemerintah Pusat adalah seluruh aparatur dari unit pemerintah pusat baik yang berada di pusat pemerintahan Negaramaupun yang berada di Daerah
2. Pelaksanaan Hubungan Kerja Pemerintah Pusat dan Daerah
a. Di tingkat Pusat
1) Gubernur/Kepala Daerah bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri selaku pembantu Presiden dalam masalah-masalah pemerintahan daerah.
2) Menteri Dalam Negeri memberikan pedoman/bimbingan, koordinasi dan pengawasan terhadap pemerintahan di daerah.

b. Di tingkat Daerah
1) Semua instansi vertical secara teknis, organisatoris dan administrative bertanggungjawab kepada Menteri yang bersangkutan, tetapi taktis operasional tunduk kepada koordinasi Gubernur/kepala Daerah (Inpres No.48/1967).
2) Instansi Otonomi Daerah mempunyai hubungan hirarkis dengan Kepala Daerah, tetapi secara teknis fungsional mendapat bimbingan dari Departemen yang bertugas dalam bidang teknis yang sama (Inpres No. 48/1967).
3) Dalam memimpin pemerintahan Daerah Gubernur/kepala Daerah mendapat bantuan nasehat dari Badan Pertimbangan Daerah (BPD) (Undang-undang No. 5 1974)
B. KERJASAMA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH
1) Kerjasama
Kerjasama pada hakikatnya mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih yang ber-interaksi atau menjalin hubungan-hubungan yang bersifat dinamis untuk mencapai suatu tujuan bersana.
2) Bidang-bidang Kerjasama
Menurut ketentuan pasal 3 dari peraturan Menteri Dalam Negeri no. 6/1975, kerjasama antar daerah dapat meliputi semua urusan pemerintahan yang termasuk urusan rumah tangga Daerah dan urusan tugas pembantuan. Urusan rumah tangga Daerah pada hakikatnya adalah segala urusan pemerintahan yang telah diserahkan dalam rangka pelaksanaan Otonomi dari Daerah yang bersangkutan. Adapun urusan tugas pembantuan menurut UU No. 5 tahun 1974 adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
3) Berbagai Bentuk Kerjasama Antar Daerah
a) Kerjasama Bilateral
Suatu kerangka kerjasama yang hanya melibatkan dua pihak, misalnya antara dua daerah tingkat II dalam satu Daerah tingkat I atau antara dua Daerah tingkat I merupakan kerjasan Bilateral.
b) Kerjasama Multilateral
Kerjasama antar Daerah yang dilakukan oleh tiga Daerah atau lebih untuk mengatur secara bersama-sam,a kepentingan daerahh-daerah yang bersangkutan.
4) Prosedur Kerjasama
Kerjasama antara Daerah merupakan suatu kerangka kerjasama antara dua atau lebih Pemerintah Daerah yang setingkat di dalam nenangani suatu atau beberapa obyek tertentu demi tercapainya kepentingan masing-masing pihak. Oleh karna kerjasama ini merupakan kerjasama yang bersifat formal, maka prosedur penetapannya ke dalam suatu Persetujuan Kerjasama harus dilakukan di atas kerangka Peraturan Bersama (pasal 4 ayat (1) peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6/1975).

Kerjasama di antara Daerah-daerah Tingkat II dalam satu Propinsi:
a. Pada tingkat awal, gagasan tentang kerjasama itu dicetuskan oleh salah satu pihak yang merasa berkepentingan.
b. Tahap kedua adalah prakarsa untuk melakukan kontak-kontak dengan Daerah tingkat II yang akan diajak bekerjasama.
c. Setelah prinsip-prinsip umum dari kerjasama, dan penetapan obyek kerjasama telah disepakati, maka langkah-langkah yang lebih maju dapat dilakukan
Beberapa hal yang mutlak dibicarakan karena akan dituangkan ke dalam Peraturan Bersama sesuai dengan petunjuk Menteri Dalam Negeri (peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 1975 pasal 4 ayat (2) adalah sebagai berikut:
1) Ruang lingkup bidang-bidang yang dikerjasamakan
2) Susunan organisasi dan personalia
3) Tata cara dan ketentuan-ketentuan teknis pelaksanaan kerjasama
4) Pembiayaan
5) Jangka waktu
6) Ketentuen-ketentuen lain yang dipandang perlu.

C) Pengawasan Pusat Daerah
Ada beberapa bentuk dan sasaran pengawasan yang semuanya dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Pengawasan yang dilakukan oleh Kepala Wilayah seperti yang dilakukan di dalam pasal 41 UU No. 5 tahun 1974 ayat d, yaitu: “ membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah”.
b. Pengawasan Umum. Pengawasan ini dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Sasarannya adalah jalannya pemerintahan daerah.
c. Pengawasan Prepentif. Sasaran pengawasan ini adalah Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah untuk meneliti apakah Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
Di bidang pengawasan pelaksanaan pembangunan di Daerag, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a. Fungsi Pengawasan
Pengawasan adalah salah satu fungsi managemen di samping fungsi-fungsi managemen lainnya, yaitu fungsi staf dan perencanaan dan fungsi pelaksanaan.
b. Prinsip-prinsip Pengawasan
Pengawasan merupakan suatu proses yang terus-menerus yang dipaksakan dengan jalan mengulangi secara teliti dan periodic.
c. Pengertian Pengawasan
Sesuai dengan pola oraganisasi Negara, maka akan ditemukan tiga unsure organisasi yaitu unsure staf dan perencanaan, unsure pengawasan dan pelaksanaan.
d. Tujuan Pengawasan
Pengawasan bertujuan untuk mengetahui apakah pelaksanaan sesuai dengan rencana yang ditetapkan ataukah tidak.


e. Pengawasan Umum
Kewenangan untuk melakukan pengawasan umum atas jalannya pemerintahan di daerah dan pemeriksaan serta penyelidikan tentang segala hal mengenai pekerjaan pemerintah Daerah di semua tingkatan berada dalam pelaksanaannya menunjuk inspektorat Jenderal sebagai pihak yang atas nama Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan umum.
f. Inspektorat Wilayah Daerah
Dalam rangka peningkatan tugas pengawasan, oleh Menteri Dalam Negeri telah ditetapkan pembentukan Inspektorat Wilayah Daerah dengan surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100 tahun 1972.
g. Inspektorat Jenderal Proyek-proyek Pembangunan
Dengan surat Keputusan Presiden No. 25 tahun 1974 telah ditetapkan pembentukan Inspektorat Jenderal pembangunan (irjenbang), dengan tugas untuk menyelenggarakan pengawasan atas pelaksanaan proyek-proyek rangka program sektoral, proyek-proyek Inpres, proyek-proyek Bantuan Desa dan proyek-proyek Daerah.
h. Inspektorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara
Badan ini adalah unit pengawasan dari Departemen Keuangan yang bertugas melakukan pengawasan keuangan Negara di Pusat maupun di Daerah.
i. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BPK adalah badan pengawas Keuangan Negara yang mempunyai wewenang yang luas sekali, meliputi keuangan, Negara dan keuangan Daerah.


DAFTAR PUSTAKA

Handayana, Soewarno. 1982. Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: CV Haji Masagung.
Pamudji, S. 1983. Kerjasama Antar Daerah. Jakarta: Media Aksara
Widiyanti, Ninik. 1987. Kepala Daerah dan Pengawasan dari Pusat. Jakarta: Bumi Aksara

KEBIJAKAN PUBLIK

KEBIJAKAN PUBLIK
A. PENDAHULUAN

Pembuatan keputusan (decision making) berada di antara perumusan kebijakan dan implementasi, akan tetapi kedua hal tersebut saling terkait satu sama lain.Keputusan mempengaruhi implementasi dan implementasi tahap awal akan mempengaruhi tahap pembuatan keputusan yang pada gilirannya, akan mempengaruhi implementasi berikutnya.Pembuatan keputusan, karena itu, bukanlah proses pasif.Keputusan adalah sebuah proses dan keputusan awal sering kali hanya merupakan sinyal penunjuk arah dorongan awal, yang nantinya akan mengalami revisi dan diberi spesifikasi.jika kita defenisikan pembuatan keputusan sebagai suatu proses penentuan pilihan, maka gagasan tentang keputusan akan menyangkut serangkaian poin dalam ruang dan waktu ketika pembuat kebijakan mengalokasikan nilai-nilai (values).Pembuatan keputusan dalam pengertian ini ada diseluruh siklus kebijakan, misalnya: keputusan mengenai apa yang bias digolongkan sebagai “problem”, informasi apa yang harus dipilih, pemilihan startegi untuk mempengaruhu kebijakan, pemilihan opsi-opsi kebijakan yang harus dipertimbangkan, pemilihan cara menyeleksi opsi, dan pemilihan cara-cara mengevaluasi kebijakan-kebijakan.Pada masing-masing poin tersebut terdapat proses pembuatan keputusan.Beberapa keputusan melibatkan alokasi nilai dan distribusi sumbeer daya melalui perumusan kebijakan, atau melalui pelaksanaan program.Karenanya pembuatan keputusan etrjadi di arena dan level yang berbeda-beda.Pada satu level ada keputusan oleh actor kebijakan tinggi (high policy actor) untuk membuat kebijakan kesehatan nasional atau kebijakan dalam bidang ekonomi.Pada level lainnya ada keputusan dari actor lain.Beberapa keputusan lebih signifikan ketimbang keputusan lainnya, dan beberapa keputusan lain kurang signifikan dibandingkan keputusan lainnya.Pemerintahan modern harus dilihat sebagai aktivitas penyusunan kebijakan yang kompleks dan berlapis-lapis, dimana penyusunan ini dilakukan dibanyak titik yang berbeda-beda.Dalam rangka pengambilan keputusan dari sebuah kebijakan terdapat berbagai factor yang dapat mempengaruhi pembuatan keputusan.Di bawah ini akan dijelaskan beberapa factor yang menghambat proses pembuatan keputusan.

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBUATAN KEPUTUSAN DARI KEBIJAKAN
Terdapat beberapa pendekatan yang menjadi factor yang mempengaruhi pembuatan keputusan, antara lain:
1. Pendekatan Kekuasaan
Model kekuasaan (power) memandang pembuatan keputusan sebagai sesuatu yang dibentuk dan ditentukan oleh struktur kekuasaan: kelas, orang kaya, tatanan birokratis, dan tatanan politik, kelompok penekan, dan kalangan professional atau ahli pengetahuan teknis.Enam macam pendekatan kekuasaan dalam pembuatan keputusan:
 Elitisme: berfokus pada cara kekuasaan dikonsentrasikan
Model proses kebijakan elitis berpendapat bahwa kekuasaan terkosensentrasi ditangan sebagian orang atau kelompok.Menurut model ini pembuatan keputusan adalah proses yang dilaksanakan demi keuntungan elit-elit tertentu.Sebagai sebuah model pembuatan keputusan, tujuan elitism didasarka pada analisis terhadap cara dunia riil berjalan.Dikatakan bahwa dalam dunia riil ada pihak-pihak yang berada diatas yang memegang kekuasaan dan ada massa yang tidak memegang kekuasaan.Model ini berasal dari ilmu social modern, yakni berakar pada pendapat seorang ahli yaitu Karl Marx, yang berpendapat bahwa elitisme adalah sesuatu yang tak bisa dihinda; masyarakat tanpa kelas adalah mitos, dan demokrasi tal lebih adalah sekedar pura-pura.Demokrasi juga dapat dilihat sebagai sebentuk politik, dimana elit-elit politik bersaing untuk mendapatkan suara dari rakyat guna mengamankan legitimasi kekuasaan.
 Pluralisme: berfokus pada cara kekuasaan didistribusikan
Dalam mengkaji kebijakan public, kaum pluralis cenderung mengasumsikan kebijakan public pada dasarnya adalah hasil dari persaingan bebas antara ide dan kepentingan.Kekuasaan dianggap didistribusikan secara luas dan system politik sangat teratur sehingga proses politik pada esensinya dikendalikan oleh tuntutan dan opini public.Di wilayah pluralis, partisipasi dalam permainan politik etrbuka untuk semua orang, akan tetapi pandangan demokrasi liberal ini ditentang karena banyak pihak yang beranggapan tidak selalu benar bahwa orang dengan kebutuhan yang banyak akan paling aktif berpartisipasi dalam pentas politik.Barang siapa yang menentukan permainan apa yang akan berlaku maka ia berhak menentukan siapa yang ikut dalam permainan politik itu sendiri.

 Marxisme: berfokus pada konflik kelas dan kekuasaan ekonomi
Gagasan bahwa problem dan agenda adalah satu set dalam satu dimensi yang tidak bisa diamati secara behavioral adalah gagasan yang bisa dijumpai dalam teori-teori yang lebih luas, yang bisa kita sebut teori mendalam.Teori mendalam ini menyatakan bahwa pelaksanaan kekuasaan dalam mendefenisikan problem dan menetapkan agenda adalah sesuatu yang terjadi di tingkat yang lebih dalam ketimbang yang kita lihat dipermukaan atau di level keputusan.
 Korporatisme: berfokus pada kekuasaan kepentingan yang terorganisir
Korporatisme adalah istilah yang berasal dari abad pertengahan dan dalam gerakan fasis pada periode antar perang dunia.Istilah ini mengandung teori tentang masyarakat yang didasarkan pada pelibatan kelompok-kelompok dalam proses pembuatan kebijakan Negara sebagai mode untuk mengatasi konflik kepentingan.Akan tetapi sebagai kerangka analitis yang dikennal sebagai neo-korporatisme telah ternoda, lebih banyak ketimbang konsep lainnya.Istuilah ini menjadi teori popular pada 1970-an dan 1980-an sebagai explanatory, dan mungkin yang lebih signifikan sebagai alat yang dipakai para politisi dan kelompok lainnya.
 Profesionalisme: berfokus pada kekuasaan kalangan professional
Perhatian utama dalam analisis kebijakan kontemporer adalah sejauh mana elit professional mendapatkan kekuasaan dalam pembuatan keputusan dan dalam implementasi kebijakan public di dalam demokrasi liberal.Aliran liberal, khususnya, mengkritik cara dimana pertumbuhan big government membuat pembuatan keputusan menjadi dikuasai oleh kelompok professional yang lebih tertarik pada pengambilan keuntungan dan kepentingan mereka sendiri ketimbang kepentingan public yang mereka layani.
 Teknokrasi: berfokus pada kekuasaan pakar teknis.
Model pembuatan keputusan ini menganggap masyarakat sebagai entitas yang bergerak menuju aturan berdasarkan rasionalitas ilmiah.Model ini adalah ide-ide yang banyak diexplorasi dalam fiksi sains, dan merupakan tema esensial dari para filsup.Model ini menopang teori manajemen.Sebagai gerakan social, teknokrasi muncul di AS sebelum perang dunia pertama.Pada periode antara dua perang dunia, kampanye mendukung agar masyarakat diatur secara rasional.

2. Pendekatan Pilihan Publik

a) Ilmu Pilihan Publik
Para ahli teori kekuasaan birokrasi dalm proses pembuatan keputusan mengatakan bahwa salah satu karakteristik utama dari negara modern adalah cara dimana kekuasaan birokratis, atau teknokratik, semakin bertambah dengan melayani kepentingan “dirinya sendiri” daripada melayani kepentingan public.Fokus pada birokrasi sangat penting untuk menganut aliran pilihan public (public choice), yang ide-idenya sangat berpengaruh dalam penentuan agenda politik pada akhir 1970-an.Asal-usul pendekatan ini bisa ditemui dalam karya Gordon Tallock dan Anthony Dawson.Perhatian mereka adalah pada alasan dan motivasi dari agen-agen administrative dan departemen pemerintahan.Sebagai aliran teori, pengaruh mereka terhadap agenda politik, terutama di Inggris dan AS, tidak bisa diremehkan.Alasan dibalik pengaruh ini adalah fakta bahwa argument pilihan public tentang ketidakefisienan dan pembengkakan birokratis telah didukung oleh think thank partai-partai politik.Karya Gordon Tullock umumnya dianggap sebagai kontribusi paling awal untuk pendekatan pilihan public.
b) Alternative untuk Model Pilihan Publik
Teori pilihan public sangat mempengaruhi teori dan praktik kebijakan public.Akan tetapi, ada beberapa kerangka alternative untuk menganalisis jenis-jenis isu yang menjadi perhatian teoritis pilihan public.Dalam makalah ini terdapat tiga pendekatan tentang alternative untuk model pilihan public:
 Teori Manajemen
 Model pembentukan Biro
3. Pendekatan Institusional

Pendekatan kebijakan sebagian besar berkembang dari kekecewaan terhadap pendekatan yang murni pada politik, yakni dari segi eksekutif, legislative, dan konstitusi.Kotak hitan David Easton memberikan prosfek analisis yang melihat pada politik dan kebijakan dengan cara yang mengabaikan institusi dan konstitusi dan lebih menitikberatkan pada proses kebijakan secara keseluruhan.Akan tetapi, belakangan muncul kesadaran akan arti penting penempatan kebijakan public dalam konteks institusi.Dalam makalah ini dispesifikasikan tiga kerangka analisis institusional:
 Institusionalisme sosiologis
 Institusionalisme ekonomi
 Institusionalisme politik
Kerangka pertama adalah sezaman dengan fungsionalisme structural David Easton.Perhatiannya melampaui struktur formal dari institusi-institusi dan mengkaji apa yang institusi lakukan atau apa fungsinya, dan bagaimana mereka menjalankan fungsi itu dalam realitas, yang berbeda dengan gagasan tipe rasional.Sebagai sebuah pendekatan, kerangka ini orientasinya empiris dan penyampaian gagasannya melalui studi kasus yang mudah difahami, bukan dengan model teoritis yang biasa dipakai dalam teori ekonomi.Institualisme sosiologis lebih memilih pendekatan historis untuk studi kasus, dan berbeda dengan institualisme ekonomi yang lebih focus pada institusi perusahaan.Di lain pihak, instutusi ekonomi berkembang dari teori-teori perusahaan yang aplikasinya utamanya dalan hal analisis ekonomi.Ada beberapa upaya untuk mengaplikasikan teori-teori tersebut untuk pembaruan institusi politik maupun kebijakan public.Pendekatan yang berasal dari arah lain, seperti teori hubungan antara masyarakat dan Negara, dan konsekuensinya defenisi institusi mereka berbeda.Jadi, meski mereka bersama-sama menitikberatkan pada soal institusi, namun mereka berbeda dalam hal lain, seperti apa makna dari konsep institusi itu sesungguhnya.Masing-masing memberikan pandangan yang berbeda tentang bagaimana institusi membentuk cara pengambilan keputusan, dan khususnya dalam institualisme ekonomi, tentang bagaimana institusi itu disusun agar bisa berfungsi secara efisien.


DAFTAR PUSTAKA

 Parsons, Wayne. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Analisis kebijakan. Jakarta: KENCANA

Desentralisasi dan Otonomi Daerah Perspektif Historis

Desentralisasi dan Otonomi Daerah Perspektif Historis
Sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan, para pendiri bangsa ini menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen dan terdiri dari berbagai daerah yang mana masing-masing daerah memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Dalam konteks itu maka para pendiri bangsa itu memutuskannya dalam bentuk pasal 18 UUD 1945. Dalam pasal tersebut disebutkan, “pembentukan Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Dalam upaya melaksanakan ketentuan pasal 18 UUD 1945 tersebut, untuk pertama kali pemerintah RI mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1945. Jadi, sebelum mengatur yang lain, pemerintah lebih dahulu mengeluarkan tentang bagaimana mengaplikasikan ketentuna pasal 18 tersebut. Tentu UU ini tidak sempurna dan tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya. Tetapi, apresiasi yang kita berikan adalah di mana Pemerintah tampak segera melaksanakan politik desentralisasi dan memberikan hak-hak otonomi kepada daerah-daerah, di samping tetap menjalankan politik dekonsentrasi.
Menyadari akan kekurangan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1945, pemerintah bersama BP-KNIP berupaya melahirkan UU Otonomi Daerah yang benar-benar didasarkan atas kedaulatan rakyat. Dalam rangka itu kemudian lahirlah UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Upaya untuk memperbaiki kekurangan tersebut dan agar sesuai dengan harapan rakyat, tampak terlihat dalam Penjelasan Umum dari UU ini, yaitu: “Baik pemerintah maupun Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat merasa akan pentingnya untuk dengan segera memperbaiki pemerintah daerah yang dapat mengetahui harapan rakyat, ialah pemerintahan daerah yang kolegial berdasarkan kekuasaannya”. Satu hal prinsip yang penting dari UU No. 22 tahun 1948 ini adalah memberikan hak otonomi yang seluas-luasnya kepadda badan pemerintah daerah yang tersusun secara demokratis
Saat Indonesia kembali menjadi Negara kesatuan dan berdasarkan UUDS 1950, pemerintah mengeluarkan UU baru tentang pemerintahan daerah, yaitu UU No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintah Daerah. UU ini secara garis besar mengandung tiga prinsip dasar desentralisasi yaitu:
1 Di Daerah-daerah, hanya ada satu bentuk system pemerintahan, yaitu pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2 Daerah-daerah dibentuk menurut susunan derajat dari atas ke bawah sebanyak-banyaknya tiga tingkat.
3 Kepada daerah-daerah akan diberikan hak otonom yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan menganut system otonomi riil.
Ketika konstelasi politik berubah, di mana Indonesai tidak lagi menganut Demokrasi Parlementer tetapi menerapkan Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 juli 1959 dengan kembali ke UUD 1945, otonomi daerah mengalami kemunduran. Legge menyebutnya sebagai Retrent from Autonomi. Mengapa ini terjadi, karena pemerintah mengambil tindakan drastis dengan mengubah UU No. 1 tahun 1957 dan menggantinya dengan Penpres No. 6 tahun 1959 dan kemudian disempurnakan melalui Penpres No. 5 tahun 1960. Dalam Penpres No. 6 tahun 1959 menetapkan prinsip-prinsip pokok yaitu:
1 Penyelenggaraan tugas di bidang pemerintahan umum pusat di daerah dan tugas di bidang ekonomi daerah, diletakkan pada satu tangan, yaitu Kepala Daerah.
2 Kedudukan Kepala Daerah tidak hanya sebagai alat daerah, tetapi sekaligus sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
3 Dalam kedudukan seperti ini, Kepala Daerah adalah pegawai Negara, tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden.
4 Dalam menjalankan kekuasaan eksekutif Kepala Daerah tidak lagi bersifat kolegial, melainkan bersifat tunggal.
5 Kepala Daerah mempunyai kekuasaan untuk menangguhksan keputusan DPRD yang bersangkutan dan keputusan pemerintah daerah bawahannya.
6 Menurut Penpres No. 5 tahun 1960, Kepala Daerah karena jabatannya adalah ketua DPRD dan bukan anggota.
Pada tahun 1965, pemerintah baru mengeluarkan UU sebagai pengganti Penpres No. 6 tahun 1959, yaitu UU No. 28 tahun 1965. UU ini mencoba menerangkan pokok-pokok pikiran cita desentralisasi dari perundang-undangan sebelumnya. Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa pemerintah akan terus dan konsekuen menjalankan politik desentralisasi yang kelak akan menuju kea rah tercapainya desemtralisasi territorial, yaitu meletakkan tanggungjawab territorial riil dan seluas-luasnya dalam tangan pemerintah daerah.
Ketika pergantian rezim dari Demokrasi Terpimpin Rezim Orde Baru, kebijakan otonomi daerah juga mengalami perubahan. Cita-cita untuk mewujudkan politik desentralisasi menjadi terhanbat. Sebab, melalui kebijakan UU No. 5 tahun 1974 selain menerapkan asan desentralisasi, pemerintah pusat masih memiliki wewenang dalam mengatur urusan-urusan yang dikelolanya di daerah lewat asa dekonsentrasi dan medebewind. Meski dalam UU menyebutkan bahwa pemerintah mencanangkan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, namun dalam operasional prinsip tersebut menimbulkan perubahan, yaitu dari desentralisasi menjadi dekonsentrasi. Hal ini berdampak daerah tidak memiliki ruang gerak dalam penetapan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan yang bertalian dengan urusan yang diembannya. Kenyataan lain adalah terbatasnya wewenang daerah dalam bidang keuangan. Sistem yang terpusat juga dijunpai dalam bidang kepegawaian.
Singkatnya kebijakan desentralisasi pada masa Orde Baru dalam praktik cenderung ke bandul sentralisasi. Ada beberapa hal yang dapay menjelaskan mengapa hingga terjadi seperti itu. Pertama, sejak awal pemerintah Orde Baru dalam menciptakan otonomi adalah untuk menciptakan keamanan, ketertiban, ketenangan, persatuan, dan stabilitas. Kedua, Pemerintah Orde Baru menganut formula setengah resmi dalam strategi ini, para ahli ekonomi berfungsi sebagai pembuat kebijakan, militer sebagai stabilisator, dan birokrasi sipil sebagai pelaku pelaksana. Ketiga, pemerintah ingin selalu memusatkan sumber daya yang tetap langka untuk keperluan pembangunan, sehingga distribusi dan penggunaannya memenuhi criteria keadilan dan efisiensi.








DAFTAR PUSTAKA
Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.