Powered By Blogger

Rabu, 04 Mei 2011

Desentralisasi dan Otonomi Daerah Perspektif Historis

Desentralisasi dan Otonomi Daerah Perspektif Historis
Sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan, para pendiri bangsa ini menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen dan terdiri dari berbagai daerah yang mana masing-masing daerah memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Dalam konteks itu maka para pendiri bangsa itu memutuskannya dalam bentuk pasal 18 UUD 1945. Dalam pasal tersebut disebutkan, “pembentukan Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Dalam upaya melaksanakan ketentuan pasal 18 UUD 1945 tersebut, untuk pertama kali pemerintah RI mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1945. Jadi, sebelum mengatur yang lain, pemerintah lebih dahulu mengeluarkan tentang bagaimana mengaplikasikan ketentuna pasal 18 tersebut. Tentu UU ini tidak sempurna dan tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya. Tetapi, apresiasi yang kita berikan adalah di mana Pemerintah tampak segera melaksanakan politik desentralisasi dan memberikan hak-hak otonomi kepada daerah-daerah, di samping tetap menjalankan politik dekonsentrasi.
Menyadari akan kekurangan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1945, pemerintah bersama BP-KNIP berupaya melahirkan UU Otonomi Daerah yang benar-benar didasarkan atas kedaulatan rakyat. Dalam rangka itu kemudian lahirlah UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Upaya untuk memperbaiki kekurangan tersebut dan agar sesuai dengan harapan rakyat, tampak terlihat dalam Penjelasan Umum dari UU ini, yaitu: “Baik pemerintah maupun Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat merasa akan pentingnya untuk dengan segera memperbaiki pemerintah daerah yang dapat mengetahui harapan rakyat, ialah pemerintahan daerah yang kolegial berdasarkan kekuasaannya”. Satu hal prinsip yang penting dari UU No. 22 tahun 1948 ini adalah memberikan hak otonomi yang seluas-luasnya kepadda badan pemerintah daerah yang tersusun secara demokratis
Saat Indonesia kembali menjadi Negara kesatuan dan berdasarkan UUDS 1950, pemerintah mengeluarkan UU baru tentang pemerintahan daerah, yaitu UU No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintah Daerah. UU ini secara garis besar mengandung tiga prinsip dasar desentralisasi yaitu:
1 Di Daerah-daerah, hanya ada satu bentuk system pemerintahan, yaitu pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2 Daerah-daerah dibentuk menurut susunan derajat dari atas ke bawah sebanyak-banyaknya tiga tingkat.
3 Kepada daerah-daerah akan diberikan hak otonom yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan menganut system otonomi riil.
Ketika konstelasi politik berubah, di mana Indonesai tidak lagi menganut Demokrasi Parlementer tetapi menerapkan Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 juli 1959 dengan kembali ke UUD 1945, otonomi daerah mengalami kemunduran. Legge menyebutnya sebagai Retrent from Autonomi. Mengapa ini terjadi, karena pemerintah mengambil tindakan drastis dengan mengubah UU No. 1 tahun 1957 dan menggantinya dengan Penpres No. 6 tahun 1959 dan kemudian disempurnakan melalui Penpres No. 5 tahun 1960. Dalam Penpres No. 6 tahun 1959 menetapkan prinsip-prinsip pokok yaitu:
1 Penyelenggaraan tugas di bidang pemerintahan umum pusat di daerah dan tugas di bidang ekonomi daerah, diletakkan pada satu tangan, yaitu Kepala Daerah.
2 Kedudukan Kepala Daerah tidak hanya sebagai alat daerah, tetapi sekaligus sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
3 Dalam kedudukan seperti ini, Kepala Daerah adalah pegawai Negara, tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden.
4 Dalam menjalankan kekuasaan eksekutif Kepala Daerah tidak lagi bersifat kolegial, melainkan bersifat tunggal.
5 Kepala Daerah mempunyai kekuasaan untuk menangguhksan keputusan DPRD yang bersangkutan dan keputusan pemerintah daerah bawahannya.
6 Menurut Penpres No. 5 tahun 1960, Kepala Daerah karena jabatannya adalah ketua DPRD dan bukan anggota.
Pada tahun 1965, pemerintah baru mengeluarkan UU sebagai pengganti Penpres No. 6 tahun 1959, yaitu UU No. 28 tahun 1965. UU ini mencoba menerangkan pokok-pokok pikiran cita desentralisasi dari perundang-undangan sebelumnya. Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa pemerintah akan terus dan konsekuen menjalankan politik desentralisasi yang kelak akan menuju kea rah tercapainya desemtralisasi territorial, yaitu meletakkan tanggungjawab territorial riil dan seluas-luasnya dalam tangan pemerintah daerah.
Ketika pergantian rezim dari Demokrasi Terpimpin Rezim Orde Baru, kebijakan otonomi daerah juga mengalami perubahan. Cita-cita untuk mewujudkan politik desentralisasi menjadi terhanbat. Sebab, melalui kebijakan UU No. 5 tahun 1974 selain menerapkan asan desentralisasi, pemerintah pusat masih memiliki wewenang dalam mengatur urusan-urusan yang dikelolanya di daerah lewat asa dekonsentrasi dan medebewind. Meski dalam UU menyebutkan bahwa pemerintah mencanangkan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, namun dalam operasional prinsip tersebut menimbulkan perubahan, yaitu dari desentralisasi menjadi dekonsentrasi. Hal ini berdampak daerah tidak memiliki ruang gerak dalam penetapan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan yang bertalian dengan urusan yang diembannya. Kenyataan lain adalah terbatasnya wewenang daerah dalam bidang keuangan. Sistem yang terpusat juga dijunpai dalam bidang kepegawaian.
Singkatnya kebijakan desentralisasi pada masa Orde Baru dalam praktik cenderung ke bandul sentralisasi. Ada beberapa hal yang dapay menjelaskan mengapa hingga terjadi seperti itu. Pertama, sejak awal pemerintah Orde Baru dalam menciptakan otonomi adalah untuk menciptakan keamanan, ketertiban, ketenangan, persatuan, dan stabilitas. Kedua, Pemerintah Orde Baru menganut formula setengah resmi dalam strategi ini, para ahli ekonomi berfungsi sebagai pembuat kebijakan, militer sebagai stabilisator, dan birokrasi sipil sebagai pelaku pelaksana. Ketiga, pemerintah ingin selalu memusatkan sumber daya yang tetap langka untuk keperluan pembangunan, sehingga distribusi dan penggunaannya memenuhi criteria keadilan dan efisiensi.








DAFTAR PUSTAKA
Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar