Powered By Blogger

Minggu, 03 Juli 2011

JENIS-JENIS TAREKAT DAN AJARANNYA



A. Pendahuluan
Tarekat merupakan cara bagi orang-orang yang menjalankan laku mistis atau tasawuf untuk mencapai tujuan utamanya, yakni memperoleh cita-cita ma’rifat pada alam ghaib dan mendapatkan penghayatan langsung pada zat allah atau Al-haq.
Pada dasarnya tarekat dunia tasawuf tidak terbatas jumlahnya karena setiap manusia mencari dan merintis jalan sesuai dengan kemampuan ataupun taraf kesucian hatinya masing-masing.
Oleh karenanya tidak mengherankan jika banyak dijumpai berbagai jenis tarekat dalam dunia tasawuf.

B. Pengertian Tarekat
Secara etimologi pengertian tarekat berasal dari bahasa arab “ thariq" yang berarti jalan, cara, keadaan, haluan, aliran pada garis sesuatu. Sedangkan menurut istilah tarekat ialah perjalanan seorang slidik (pengikut tarekat) manuju tuhan dengan cara menyucikan diri. Dengan kata lain tarekat ialah perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Syarat utama yang perlu diperhatikan oleh pengikut tarekat ialah untuk mendekatkan diri pada Tuhan, tidak dibenarkan meninggalkan syari’ah. Untuk itu setiap pengikut tarekat harus dibimbing oleh Syekh Mursyid (pembimbing) yang bertanggungjawab.
Sebaliknya para murid tarekat harus senantiasa berlaku zuhud, tawadhu, banyak berzikir, berwirid dan berdo’a, disamping mengamalkan syariat yang benar agar segalanya dapat terkendali pengikut tarekat. Metode semula dipergunakan oleh seorang sufi besar dan kemudian diikuti oleh murid-muridnya sebagaimana halnya mazhab-mazhab dalam bidang fiqh dan firqah dalam bidang kalam. Tarekat merupakan gerakan kesufian popular sebagai bentuk terakhir gerakan tasawuf tampaknya tidak juga tidak begitu muncul.
Jadi yang dimaksud dengan tarekat ialah suatu system dan cara-cara beramal dari irsyad (pembimbing) seorang guru terhadap murid-muridnya yang mengikat dalam suatu mazhab tertentu yang pada dasarnya untuk menjalankan sunnah Rasulullah saw secara optimal dan sungguh-sungguh.

C. Jenis-jenis Tarekat dan Ajarannya
1 Tarekat Khalawatiyah
Tarekat khalawatiyah didirikan oleh Abdul Qodir Suhrawardi dan Umar Suhrawardi. Tarekat ini membagi manusia menjadi tujuh tingkatan yaitu:
a. Manusia yang berada dalam nafsul ammarah
Seperti jahil, kikir, sombong, gemar kepada kejahatan dan dipengaruhi syahwat dan sifat-sifat tercela lainnya.
b. Manusia yang berada dalan nafsul lawwamah
Maksudnya mereka yang gemar meninggalkan perbuatan buruk, dan berbuat saleh tetapi suka bemegah-megahan.
c. Manusia yang berada dalam nafsul mulhamah.
d. Manusia yang berada dalam nafsul muthma’innah.
e. Manusia yang berada dalam nafsul radhiyah.
f. Manusia yang berada dalam nafsulmardiyah.
g. Manusia yang berada dalam nafsulkamillah.
Tarekat khalawatiyah ini mengajarka ajaran spiritual yang merupakan gabungan berbagai tekhnik spiritual lainnya.
2 Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri tarekat naqsyabandiyah ini adalah Muhammad bin Baha’uddin Al-huawaisi Al-Bukhari (717-791 H). Naqsyabandiyah ini mempunyai arti yaitu lukisan, karena ia ahli dalam memberikan gambaran kehidupan yang ghaib-ghaib.
Tarekat naqsyabandiyah ini mengajarkan cara berdo’a, baca al-qur’an dan berzikir-zikir yang sangat sederhana. Namun tarekat ini lebih mengutamakan zikir dalam hati daripada zikir dengan lisan.
Ada enam dasar yang dipakai sebagai pegangan untuk mencapai tujuan Dallam tarekat ini, yaitu:

a. Taubat
b. Uzla
c. Zuhud
d. Takwa
e. Qona’ah dan
f. Taslim.
Hukum yang dijadikan dalam tarekat ini ada enam, yaitu:
a. Zikir
b. Meninggalkan hawa nafsu
c. Meninggalkan kesenangan duniawi
d. Melaksanakan ajaran agama dengan sungguh-sungguh
e. Berbuat baik kepada makhluk Allah
f. Mengerjakan amal kebaikan.
3 Tarekat Qadiriyah
Tarekat qadariyah ialah tarekat yang pertama yang disebut dengan sumber-sumber pribumi. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani, seorang ulama yang zahid. Ia mempunyai sekolah untuk melakukan suluk dan latihan-latihan kesufian di Baghdad.. Sejak kecil Syekh Jailani adalah anak yang berbakti pada orang tua, jujur, gemar belajar, dan beramal serta menyayangi fakir miskin dan selalu menjauh dari hal-hal yang bersifat maksiat.
Tarekat ini mengamalkandan mengajarkan zikir dan wirid tertentu, dan mengajarkan cara mengatur nafas pada waktu berzikir. Ajaran ini merupakan adaptasi dari teori emanasi yang tidak lama kemudian sangat popular di Indonesia.
4 Tarekat Rifa’iyah
Tarekat rifa’iyah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Ali Al-Rifa’I (1106-500 H). Ciri khas tarekat Rifaiyah adalah pelaksanaan zikirnya yang dilakukan bersama-sama diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukan sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan.

5 Tarekat Sammaniyah
Kemunculan tarekat ini bermula dari kegiatan Syekh Muhammad Saman, seorang guru mahsyur yang mengajarkan tarekat di Madinah. Banyak orang Indonesia yang pergi kesana untuk mengikuti pengajarannya. Sebagai guru besar tasawuf, syekh Muhammad Saman terkenal akan kesalehannya, kezuhudan, dan kekeramatannya.
Tarekat sammaniyah ini juga mewiridkan bacaan zikir yang biasanya dilakukan secara bersama-sama pada malam jum’at di masjid dan mushalla sampai tengah malam. Selain itu ibadah yang diamalkan oleh syekh yang diikuti oleh murid-muridnya sebagai tarekat antara lain sholat sunat asyraq dua raka’at, sholat sunnah dhuha, memperbanyak rhiadhah, dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.
6 Tarekat Syaziliyah
Pendiri tarekat syaziliyah adalah Abdul Hasan Ali Asy;Syazili, seorang ulama dan sufi besar. Ia dilahirkan pada 573 H disuatu desa kecil di kawasan Maghribi. Ali Syazali sangat saleh dan alim. Tutur katanya enak didengar dan mengandung kedalaman makna. Bahkan bentuk tubuhnya dan wajahnya mencerminkan keimanan dan keikhlasan. Pengikut tarekat ini sangat luar biasa banyaknya.
Tarekat syaziliyah merupakan tarekat yang paling mudah pengamalannya. Dengan kata lain tidak membebani syarat-syarat yang berat kepada syekh tarekat seperti di bawah ini:
a. Meninggalkan segala perbuatan maksiat
b. Memelihara segala ibadah wajib
c. Menunaikan ibadah-ibadah sunnah
d. Zikir kepada Allah SWT sebanyak mungkin
e. Membaca shalawat.
7 Tarekat Tijaniyah
Pendiri tarekat Tijaniyah ialah Abdul Abbas bin Muhammad bin Muchtar At-Tijani (1737-1738), seorang ulama Algeria yang lahir di ‘Ain Mahdi. Keistimewaannya adalah ketika berumur 7 tahun ia sudah menghafal Al-Qur’an, kemudian mempelajari pengetahuan islam yang lain, sehingga ia menjadi guru dalam usia belia.
Pendiri tarekat ini telah mempelajari rahasia-rahasia bathin, bahkan dalam keadaan terjaga ia bertemu dengan Muhammad saw yang mengajarkannya wirid, istighfar, dan shalawat.
Wirid-wirid yang diajarkan tarekat tijaniyah sangat sederhana seperti istighfar, shalawat, tahlil. Semua wirid tersebut boleh diamalkan dua waktu sehari.

D. Kesimpulan
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa tarekat ialah suatu system dan cara-cara beramal dari irsyad seorang guru terhadap muridnya yang mengikat dalam suatu mazhab tertentu yang pada dasarnya untuk menjalankan sunnah Rasulullah saw secara optimal dan sungguh-sungguh.
Syarat utama yang perlu diperhatikan oleh pengikut tarekat ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Setiap pengikut tarekat harus dibimbing olea Syekh Mursyid yang bertanggungjawab.
Jenis-jenis tarekat ada tujuh, yaitu:
1) Tarekat Khalawatiyah
2) Tarekat Naqsyabandiyah
3) Tarekat Qadiriyah
4) Tarekat Rifa’iyah
5) Tarekat Sammaniyah
6) Tarekat Syaziliyah
7) Tarekat Tijaniyah

DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri Basyir, Ilmu Tasawuf, Yayasan Pena Banda Aceh, Bandung: 2005
Prof. Dr. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007
Prof. Dr. Abu Su’ud, Islamologi, PT. Rineka Cipta, Jakarta: 2003
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadhani, Solo: 1993
Fadhullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf , PT. Lentera Basritama, Jakarta: 2001

Jumat, 24 Juni 2011

HUBUNGAN PEMERINTAHAN PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DARI ASPEK URUSAN DAN KEWENANGAN (DALAM KORIDOR UU NO.32 TAHUN 2004)



I. LANDASAN TEORI
Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi NKRI. Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai desentralisasi. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat Negara. Artinya, kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan regional atau lokal. Sementara itu nilai dasar desentralisasi diwujudkan dengan pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan atau diakui Sebagai domain rumah tangga daerah otonom tersebut.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan pola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini karena dalam penyelenggaraan desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-¬bagian tertentu urusan pemerintahan.
Sesuai UUD 1945, karena Indonesia adalah "Eenheidstaat", maka di dalam lingkungannya tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat staat juga. Ini berarti bahwa sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara. Dengan demikian pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki cirri-ciri :
a. Daerah Otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal.
b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atas urusan pemerintahan.
c. Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada butir b tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Dengan demikian jelaslah bahwa desentralisasi merupakan instrumen untuk mencapai tujuan bernegara dalam kerangka kesatuan bangsa (national unity) yang demokratis (democratic government). Dalam konteks UUD 1945, selalu harus diperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk menyelenggarakan desentralisasi dengan kebutuhan memperkuat kesatuan nasional. Oleh sebab itu ciri umum penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia sesuai dengan UUD 1945 adalah :
1. Pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan oleh Pemerintah, bahkan dapat dihapus oleh Pemerintah melalui proses hukum apabila daerah tidak mampu menjalankan otonominya setelah melalui fasilitasi pemberdayaan.
2. Dalam rangka desentralisasi, di wilayah Indonesia dibentuk Provinsi dan di wilayah Provinsi dibentuk Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom.
3. Sebagai konsekuensi ciri butir 1 dan 2, maka kebijakan desentralisasi disusun dan dirumuskan oleh Pemerintah, sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan melibatkan masyarakat sebagai cerminan pemerintahan yang demokratis.
4. Hubungan antara pemerintah daerah otonom dengan pemerintah nasional (Pusat) adalah bersifat tergantung (dependent) dan bawahan (subordinate). Hal ini berbeda dengan hubungan antara pemerintah negara bagian dengan pemerintah federal yang menganut prinsip federalisme, yang sifatnya independent dan koordinatif.
5. Penyelenggaraan desentralisasi menuntut persebaran urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi Lembaga Negara yang membidangi legislatif atau lembaga pembentuk Undang-Undang dan yudikatif ataupun lembaga Negara yang berwenang mengawasi keuangan Negara. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang di desentralisasikan menjadi kewenangan Kepala Daerah dan DPRD untuk melaksanakannya sesuai dengan mandat yang diberikan rakyat.
Persebaran urusan pemerintahan ini memiliki dua prinsip pokok :
a) Selalu terdapat urusan pemerintahan yang umumnya secara universal tidak dapat diserahkan kepada daerah karena menyangkut kepentingan kelangsungan hidup bangsa dan negara seperti urusan pertahanan-keamanan, politik luar negeri, moneter, dan peradilan.
b) Tidak ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah. Untuk urusan¬-urusan pemerintahan yang berkaitan kepentingan lokal, regional dan nasional dilaksanakan secara bersama (concurrent). Ini berarti ada bagian-bagian dari urusan pemerintahan tertentu yang dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, ada bagian-bagian yang diselenggarakan oleh Provinsi dan bahkan ada juga yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Diperlukan adanya hubungan koordinasi antar tingkatan pemerintahan agar urusan-urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dapat terselenggara secara optimal.
Mengingat urusan pemerintahan bersifat dinamis maka dalam penyerahan urusan pemerintahan tersebut selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Untuk menjamin kepastian, perubahan-perubahan tersebut perlu didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu selalu ada dinamika dalam distribusi urusan pemerintahan (inter-governmental function sharing) antar tingkatan pemerintahan Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat.
Secara universal terdapat dua pola besar dalam merumuskan distribusi urusan pemerintahan, yakni :
1) pola-general competence (otonomi luas) dan
2) pola ultra vires (otonomi terbatas).
Dalam pola otonomi luas dirumuskan bahwa urusan-urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam prinsip Ultra Vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pusat.
Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah Provinsi dipimpin oleh Kepala Daerah Provinsi yang disebut Gubernur yang juga bertindak sebagai wakil Pusat di Daerah. Sebagai wakil Pemerintah di Daerah, Gubernur melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) terhadap Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya agar otonomi daerah Kabupaten/Kota tersebut bisa berjalan secara optimal. Sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur juga melaksanakan urusan-urusan nasional yang tidak termasuk dalam otonomi daerah dan tidak termasuk urusan instansi vertikal di wilayah Provinsi yang bersangkutan. Disamping itu, sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur mempunyai peranan selaku "Integrated Field Administration" yang berwenang mengkoordinir semua instansi vertikal yang ada di Provinsi yang bersangkutan disamping melakukan supervisi dan fasilitasi terhadap Kabupaten/ Kota yang ada di wilayahnya. Gubernur mempunyai "Tutelage Power" yaitu menjalankan kewenangan Pusat untuk membatalkan kebijakan Daerah bawahannya yang bertentangan dengan kepentingan umum ataupun peraturan perundangan yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut maka diperlukan pengaturan yang sistematis yang menggambarkan adanya kewenangan Gubernur yang berkaitan dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan.
Selain urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara sentralisasi, terdapat urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara desentralisasi. Desentralisasi dalam arti lugs dapat dilakukan secara devolusi, dekonsentrasi, privatisasi dan delegasi (Rondinelli & Cheema, 1983). Pemahaman devolusi di Indonesia mengacu kepada desentralisasi sedangkan delegasi terkait dengan pembentukan lembaga semi pemerintah (Quasi Government Organisation/Quango) yang mendapatkan delegasi Pemerintah untuk mengerjakan suatu urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah. Lembaga yang terbentuk berdasarkan prinsip delegasi dapat berbentuk Badan Otorita, Badan Usaha Milik Negara, Batan, LEN, Bakosurtanal. Dalam konsep otonomi luas, maka urusan pemerintahan yang tersisa di Daerah (residual functions) atau Tugas Pemerintah lainnya yang belum ditangani dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Hal inilah yang sering dikelompokkan dalam pelaksanaan azas vrisj bestuur. Vrisj Bestuur yang bersifat lintas Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Propinsi sedangkan yang lokal menjadi kewenangan Kabupaten/ Kota. Konsep privatisasi berimplikasi pada dilaksanakannya sebagian fungsi-fungsi yang sebelumnya merupakan kewenangan Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah oleh pihak swasta. Variant lainnya dari privatisasi adalah terbukanya kemungkinan kemitraan (partnership) antara pihak Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan pihak swasta dalam bentuk Built Operate Own (BOO), Built Operate Transfer (BOT), management contracting out.
Penyelenggaraan tugas pembantuan (Medebewind) diwujudkan dalam bentuk penugasan oleh pemerintah pusat kepada Daerah atau Desa atau oleh Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan Desa untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan. Pembiayaan dan dukungan sarana diberikan oleh yang menugaskan sedangkan yang menerima penugasan wajib untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas tersebut kepada yang menugaskan.
Penyelenggaraan Pemerintahan Nasional dilaksanakan oleh Departemen dan Kementrian Negara serta LPND. Untuk melaksanakan kewenangan Pusat di Daerah digunakan alas dekonsentrasi yang dilaksanakan oleh instansi vertikal balk yang wilayah yurisdiksinya mencakup satu wilayah kerja daerah otonom maupun mencakup beberapa wilayah kerja daerah otonom seperti adanya KODAM, POLDA, Kejaksaan, Badan Otorita Pusat di Daerah dan lain-lainnya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD yang bekerja atas dasar kemitraan dan bukan membawahkan satu sama lainnya. Dalam menyusun dan merumuskan kebijakan daerah, kedua institusi tersebut bekerjasama dengan semangat kemitraan. Namun pada saat pelaksanaan (implementasi), kedua institusi memiliki fungsi yang berbeda. Kepala Daerah melaksanakan kebijakan Daerah dan DPRD melakukan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan daerah. Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) diadopsi prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif, efisien, transparan, demokratis, partisipatif, dan akuntabel. Oleh sebab itu hubungan antar Kepala Daerah, DPRD, dan masyarakat daerah dalam rangka checks and balances menjadi kebutuhan mutlak.
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi salah satu ciri penting pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini karena karakteristik sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia yang sangat beragam dari satu daerah dengan daerah yang lain. Sebagai perwujudan nilai dasar konstitusi maka diperlukan pengaturan tentang pembagian hasil atas pengelolaan sumber daya alam, buatan maupun atas basil kegiatan perekonomian lainnya yang intinya untuk memperlancar pelaksanaan otonomi daerah, dan pada saat yang sama memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik sebagai refleksi dari proses demokratisasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal yang pada gilirannya secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan kesejahteraan akan memposisikan Pemda sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pelayanan yang disediakan Pemda kepada masyarakat ada yang bersifat regulative (public regulations) seperti mewajibkan penduduk untuk mempunyai KTP, KK, IMB dan sebagainya. Sedangkan bentuk pelayanan lainnya adalah yang bersifat penyediaan public goods yaitu barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumah sakit, terminal dan sebagainya. Apapun barang dan regulasi yang disediakan oleh Pemda haruslah menjawab kebutuhan riil warganya. Tanpa itu, Pemda akan kesulitan dalam memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah diberikan warga kepada Pemda untuk mengatur dan mengurus masyarakat. Untuk itulah maka seluas apapun otonomi atau kewenangan yang dilaksanakan oleh Daerah, kewenangan itu tetap ada batas--batasnya, yaitu rambu-rambu berupa pedoman dan arahan, serta kendali dari Pemerintah, balk berupa UU, PP, atau kebijakan lainnya.
Disamping itu haruslah kewenangan tersebut berkorelasi dengan kebutuhan masyarakat. Kewenangan tersebut yang memungkinkan Daerah mampu memberikan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Argumen inilah yang menjadi dasar kenapa urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dikelompokkan menjadi dua yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib berkorelasi dengan penyediaan pelayanan dasar dan urusan pilihan terkait dengan pengembangan potensi unggulan yang menjadi kekhasan daerah yang bersangkutan.
Dari tujuan demokratisasi dan kesejahteraan diatas, maka misi utama dari keberadaan Pemda adalah bagaimana mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektip, efisien dan ekonomis serta melalui cara-cara yang demokratis. Untuk mampu menyediakan pelayanan publik yang optimal dan mempunyai kepastian maka untuk penyediaan pelayanan dasar diperlukan adanya Standard Pelayanan Minimum (SPM). SPM yang menjadi "benchmark" bagi Pemda dalam mengatur aspek kelembagaan, personil, keuangan, dan mengukur kinerja dalam penyediaan pelayanan publik. Sisi demokratisasi pada Pemda berimplikasi bahwa Pemda dijalankan oleh masyarakat daerah sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis. Dalam menjalankan misinya untuk mensejahterakan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta mengagregasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam kebijakan-kebijakan publik di tingkat lokal. Namun kebijakan publik di tingkat lokal tidak boleh bertentangan dengan kebijakan publik nasional dan diselenggarakan dalam koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang berlaku pada negara dan bangsa tersebut.

II. HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat dilihat dari Adanya hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Peran Pusat dalam kerangka otonomi Daerah akan banyak bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity building) agar Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standard dan prosedur yang ditentukan Pusat.

III. HUBUNGAN DAN DISTRIBUSI KEWENANGAN
Daerah Otonom diberi wewenang untuk mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Seluas apapun Otonomi Daerah, tetap ada dalam batas dan ruang lingkup wewenang Pemerintah. Pemerintah Pusat yang mengatur hubungan antara Pusat dan Daerah yang dituangkan dalam Peraturan Perundangan yang bersifat mengikat kedua belah pihak. Namun dalam pengaturan hubungan tersebut haruslah memperhatikan aspirasi Daerah sehingga tercipta sinerji antara kepentingan Pusat dan Daerah. Agar terwujud distribusi kewenangan mengelola urusan pemerintahan yang efisien dan efektip antar tingkatan pemerintahan, maka distribusi kewenangan mengacu pada kriteria sebagai berikut:
a) Externalitas: unit pemerintahan yang terkena dampak langsung dari pelaksanaan suatu urusan pemerintahan, mempunyai kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan tersebut.
b) Akuntabilitas: unit pemerintahan yang berwenang mengurus suatu urusan pemerintahan adalah unit pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan urusan tersebut. Ini terkait dengan pertanggung jawaban (akuntabilitas) dari pengelolaan urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat yang menerima dampak langsung dari urusan tersebut. Urusan lokal akan menjadi kewajiban Kabupaten/ Kota untuk mempertanggung jawabkan dampaknya. Urusan yang berdampak regional akan menjadi tanggung jawab Provinsi dan urusan yang berdampak nasional akan menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
c) Efisiensi: pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan rakyat.
Untuk itu pemberian kewenangan kepada Daerah untuk mengurus suatu urusan pemerintahan janganlah sampai menciptakan in-efiensi atau high cost economy. Untuk mencapai efisiensi maka diperlukan skala ekonomi (econimies of scale) dalam pelaksanaannya. Pencapaian skala ekonomi terkait dengan luasan cakupan wilayah (catchment area) dimana urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan.
Untuk mencapai skala ekonomi tersebut, maka perlu dilakukan kerjasama antar daerah untuk optimalisasi pembiayaan dari penyelenggaraan urusan tersebut. Dalam penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan tersebut terdapat adanya inter-koneksi dan inter-dependensi karena keterkaitan dari urusan pemerintahan tersebut sebagai suatu "system". Urusan yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan berjalan optimal apabila tidak terkait (inter-koneksi) dengan Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Demikian juga sebaliknya. Untuk itu maka diperlukan adanya koordinasi untuk menciptakan sinerji dalam melaksanakan kewenangan mengelola urusan-urusan tersebut. Namun demikian setiap tingkatan pemerintahan mempunyai kewenangan penuh (independensi) untuk mengelola urusan pemerintahan yang menjadi domain kewenangannya. Sebagai ilustrasi; jalan negara yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan optimal apabila tidak terkait dengan jalan Provinsi yang menjadi kewenangan Provinsi menggelolanya. Jalan Provinsi juga tidak akan optimal apabila t:dak terkait dengan jalan Kabupaten/Kota. Secara keseluruhan jaringan jalan tersebut merupakan suatu "sistem jalan" yang didukung oleh sub sistem jalan Negara, Plan Provinsi clan jalan Kabupaten/Kota. Setiap tingkatan pemerintahan tersebut mempunyai kewenangan penuh (independent) untuk mengelola " jalan" yang menjadi domain kewenangannya. Namun dalam menjalankan kewenangannya masing-masing, harus ada koordinasi diantara ketiga tingkatan pemerintahan tersebut, agar jalan sebagai suatu sistem dapat berfungsi secara optimal.
Hubungan kewenangan antara daerah otonom Provinsi dengan daerah otonom
Kabupaten/Kota tidaklah hirarkhis. Provinsi mempunyai kewenangan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang bersifat antar Kabupaten/Kota (regional) yang berdampak regional. Sedangkan Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan menangani urusan-urusan pemerintahan yang berskala lokal yang dampaknya lokal. Keterkaitan antara kewenangan dan dampak adalah untuk menjamin akuntabilitas dari penyelenggaraan otonomi daerah tersebut. Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota akan bertanggung jawab atas urusan-urusan pemerintahan yang berdampak lokal. Pemerintah Daerah Provinsi akan bertanggung jawab atas urusan-urusan pemerintahan yang berdampak regional.
Pemerintah Pusat bertanggung jawab secara nasional untuk menjamin agar otonomi daerah dapat berjalan secara optimal. Konsekwensinya Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawasi, memonitor, mengevaluasi dan memberdayakan Daerah agar mampu menjalankan otonominya secara efektive, efisien, ekonomis dan akuntabel. Untuk supervisi dan fasilitasi terhadap pelaksanaan otonomi di tingkat Provinsi dilakukan langsung oleh Pemerintah. Sedangkan untuk melakukan kegiatan supervise dan fasilitasi terhadap pelaksanaan otonomi di tingkat Kabupaten/Kota, mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas, tidak akan efektip dan efisien kalau dilakukan langsung oleh Pemerintah. Untuk itu Pemerintah berdasarkan prinsip "dekonsentrasi" menugaskan Gubernur selaku wakil Pemerintah di Daerah untuk melakukan kegiatan supervise dan fasilitasi tersebut.
Adalah sulit bagi Gubernur secara pribadi untuk melakukan tugas supervisi dan fasilitasi tersebut. Untuk itu seyogyanya Gubernur memerlukan adanya perangkat dekonsentrasi untuk membantu pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya selaku wakil Pusat di daerah. Untuk mencegah salah persepsi bahwa tujuannya bukan untuk menghidupkan Kanwil dimasa lalu, maka perangkat tersebut lebih optimal berbentuk jabatan fungsional yang bertugas membantu Gubernur secara sektoral ataupun limas sektor yang serumpun seperti ahli kesehatan, ahli pendidikan, ahli kehutanan, ahli keuangan dsb sesuai dengan "magnitude" pembinaan dan pengawasan yang diperlukan oleh Gubernur sebagai wakil Pusat di daerah. Perangkat dekonsentrasi tersebut sifatnya membantu kelancaran tugas Gubernur untuk melakukan supervisi dan fasilitasi terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di wilayahnya dalam melaksanakan otonominya. Pembiayaan dari Gubernur dan perangkat dekonsentrasi yang membantunya dibebankan kepada Pemerintah Pusat melalui APBN.

Daftar Pustaka

Buku :
Handayana, Soewarno. 1982. Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: CV Haji Masagung
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Internet :
http://sakatik.blogspot.com/2008/10/hubungan-pusat-dan-daerah-dari-aspek
http://ihsanefendiry.blogspot.com/2011/hubungan pusat dan daerah

Kerangka Legal Peraturan Yang Mengatur Tentang Otonomi Daerah Banyak Yang Tidak Jelas



10 Tahun Otda, Wewenang Gubernur Masih Ngambang
Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah (Meneg Otda) Prof Ryaas Rasyid menilai pemerintah pusat membiarkan tugas dan wewenang gubernur, selaku wakil pemerintah pusat, tidak jelas. Selama 10 tahun otonomi daerah yang berbasis kebupaten dilakukan, maka tugas dan wewenang gubernur ngambang.
Saat ini. Ryaas mengakui, gu-bemur tidak memiliki kewibawaan tersendiri dihadapan para bupatinya. Akibatnya konflik antara gubernur dengan walikota atau bupati terus dirasakan.Agar masalah kewenangan dan tugas gubernur ini tak berlarut-larut, Ryaas mengusulkan pemerintah pusat segera menerbitkan peraturan pemerintah yang jelas merinci tugas dan wewenang gubernur. Jadi, diperlukan peraturan pemerintah untuk mengatur kewenangan gubernur secara rinci sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Ini harus segera dilakukan agar konflik gu-bemur dengan bupati atau walikota bisa diatasi.
Kata Ryaas, bukan kali ini saja dirinya menyuarakan perlunya ada PP yang mengatur kewenangan gubernur tersebut. Pada 2001 lalu, di era pemerintahan (alm) Presiden Gus Dur, ide itu pernah diusulkannya, namun tidak ditanggapi.Karena itu, Ryaas mensinyalir bahwa sikap pemerintah pusat yang tidak merinci kewenangan gubernur itu bertujuan agar kewenangan Jakarta (pemerintah pusat) tidak berkurang.
Anggota DPD asal Sumatera Barat Alir-man Sori. Alirman menilai beberapa bupati kerap melangkahi kewenangan gubernur. Hal ini disebabkan bupati memiliki kewenangan otonomi daerah yang lebih besar ketimbang gubernur.Gubernur tidak mengetahui apa yang menjadi tugas dan kewenangannya di daerah. Kewenangan gubernur tidak jelas ini menyebabkan banyak bupati lompat pagar melewati gubernur dan terjadi carut-marut pemerintahan di daerah.
Padahal, dalam Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah memiliki fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi urusan pemerintahan di daerah serta tugas pembantuan. Tapi penjabaran lebih lanjut apa yang mesti dibina, diawasi dan dikoordinasikan atau bagaimana mekanismenya belum diatur secara jelas oleh pemerintah pusat.
Tumpang Tindih dan Inkonsistensi Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan yang ada masih banyak yang tumpang tindih, inkonsisten dan bertentangan antara peraturan yang sederajat satu dengan lainnya, antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dan antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di bawahnya. Inventarisasi yang dilakukan oleh Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah menemukan hanya 14,8 persen, dari sebanyak 709 perda yang diteliti, secara umum tidak bermasalah. Sisanya, sebesar 85,2 persen perda yang dibuat oleh 134 daerah tingkat II merupakan perda-perda yang bermasalah. Masalah terbesar dari pengaturan perda-perda yang bermasalah tersebut antara lain terkait dengan kejelasan prosedur antara lain standar waktu, biaya, prosedur, tariff, dan lainnya dengan persentase sebesar 22,7 persen, dan permasalahan acuan yuridis yang tidak disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan tingkat pusat dengan persentase sebesar 15,7 persen.


Hubungan Perda Provinsi dan Perda Kabupaten Tidak Jelas
Pengaturan mengenai pembentukan Peraturan Daerah (Perda) di Indonesia memperlihatkan ketidaktaatan asas. Menurut pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Perda dan peraturan-peraturan lain ditetapkan oleh pemerintahan daerah. Sementara, berdasarkan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Perda dibuat oleh DPRD bersama kepada daerah. Sebaliknya, bagian Penjelasan Umum butir 7 UU Pemda tersebut, Perda dibuat oleh DPRD bersama dengan pemerintah daerah. Pada Undang-Undang yang sama, pasal 136, disebutkan bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.

Selain itu, bahwa Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda tidak mengatur hubungan antara Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Sehingga tidak jelas apakah hubungannya hierarkis atau setara. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menghendaki hubungan provinsi dan kabupaten/kota bersifat hierarkis. Hal ini juga dapat dirujuk ke TAP No. IV/MPR/2000 yang menghendaki otonomi daerah yang bertingkat dari provinsi sampai ke desa. Tetapi kalau merujuk pada UU No. 10 Tahun 2004, Perda Provinsi berkedudukan lebih tinggi dibanding Perda Kabupaten/Kota.

Undang-Undang Pemda membedakan tiga jenis produk hukum daerah otonom: dua produk hukum berupa pengaturan (yaitu Perda dan Peraturan Kepala Daerah), dan satu berupa pengurusan (SK Kepala Daerah). Dua yang pertama memiliki norma yang umum dan abstrak, sedangkan yang terakhir bersifat penetapan yang bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Kewenangan Otonomi Daerah Belum Jelas
Pelaksanaan Otonomi Daerah masih terkendala karena belum adanya pembagian kewenangan yang jelas antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi serta Kabupaten / Kota. Hingga kini, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota belum selesai dibahas oleh pemerintah.
Prinsip otonomi daerah sangat terganggu dengan belum adanya pembagian kewenangan ini. Padahal, kunci keberhasilan otonomi daerah adalah keterpaduan antarsektor dan antardaerah. Selain pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang belum ada, masalah lainnya adalah undang-undang sektoral yang belum disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sampai sekarang UU di tiap sektoral masih eksis dan kalau nanti pembagian kewenangan itu hanya diatur dalam peraturan pemerintah, maka tidak akan kuat. Pembagian kewenangan untuk pusat dan daerah diatur serta ditetapkan dalam konstitusi, bukan di peraturan pemerintah.

Nama Kelompok :
1) Ikhsan Efendi
2) Parlindungan Ritonga
3) Rahim Lubis

Birokrasi

Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata Biro (meja) dan Kratein (pemerintahan) yang disintesakan berarti Pemerintahan Meja. Tentu agak lucu pengertian seperti ini, tetapi memang demikianlah hakikat birokrasi oleh sebab lembaga inilah tampak kaku yang dikuasai oleh orang-orang di belakang meja.
Di dalam pendekatan Institusional (kelembagaan), khususnya di dalam skema, tercantum lalu lintas administrasi Negara dari eksekutif turun ke Kebijakan Administrasi, lalu ke Administrasi dan yang terakhir ke pemilih. Artinya, setiap kebijakan negara yang diselenggarakan pihak eksekutif diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan Administrasi Negara, di mana pelaksanaan dari administrasi tersebut dilakukan oleh lembaga birokrasi. Kita mungkin mengenal badan-badan seperti Departemen, Kanwil, Kantor Kelurahan, Kantor Samsat, di mana kantoo-kantor tersebut semua merupakan badan-badan birokrasi Negara yang mengimplemantasikan kebijakan Negara dan bersifat langsung berhubungan dengan masyarakat.
Michale G. Roskin, menyebut penertian birokrasi. Bagi mereka birokrasi adalah setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri atas para pejabat yang diangkat, di mana fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan. Idealnya, birokrasi merupakan system rasional atau struktur yang terorganisir yang dirancang sedemikian rupa guna memungkinkan adanya pelaksanaan kebijakan public yang efektif dan efisien.
Birokrasi juga dioperasikan oleh serangkaian aturan serta prosedur yang bersifat tetap. Terdapat rantai komando berupa hirarki kewenangan di mana tanggungjawab setiap bagiannya mengalir dari atas ke bawah. Selain itu, birokrasi juga disebut sebagai badan yang menyelenggarakan Pelayanan Publik. Birokrasi terdiri dari orang-orang yang diangkat oleh eksekutif, dan posisi mereka ini dating dan pergi. Artinya, mereka duduk di dalam birokrasi kadang dikeluarkan atau tetap dipertahankan berdasarkan prestasi kerja mereka. Seorang pegawai birokrasi yang malas biasanya akan mendapat teguran dari atasan, yang jika diteguran ini tidak digubris, ia kemungkinan besar akan diberhentikan dari posisinya. Namun, jika seorang pegawai menunjukkan prestasi kerja yang memuaskan, ada kemungkinan ia akan dipromosikan untuk mendapat posisi yang lebih tinggi.
Fungsi Birokrasi dan Peran Birokrasi
1 Melaksanakan pelayanan public.
2 Melaksanakan pembangunan professional.
3 Perencanaan, pengawas, dan pelaksana kebijakan
4 Alat Negara sebagai pelayan kepentingan masyarakat.
Karakteristik Birokrasi
Karakteristik birokrasi yang umum diacu adalah yang diajukan oleh Max Weber. Menurut Weber, paling tidak terdapat 8 karakteristik birokrasi, yaitu:
1 Organisasi yang disusun secara hirarkis.
2 Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.
3 Pelayanan public terdiri atas orang-orang yang diangkat, bukan dipilih, di mana pengangkatan tersebut didasarkan kepada kualifikasi, kemampuan, jenjang pendidikan, atau pengujian.
4 Seorang pelayan public menerima gaji pokok berdasarkan posisi.
5 Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir.
6 Para pejabat tidak memiliki sendiri kantor mereka.
7 Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.
8 Promosi yang ada didasarkan atas penilaian atasan.
Ditinjau secara politik, karakteristik birokrasi menurut Weber hanya menyebut hal-hal yang ideal. Artinya, terkadang pola pengangkatan pegawai di dalam birokrasi yang seharusnya didasarkan atas jenjang pendidikan atau hasil ujian, kerap tidak terlaksana. Ini diakibatkan masih berlangsungnya pola pengangkatan pegawai berdasarkan kepentingan pemerintah.
Jika berbicara tentang birokrasi tidak terlepas dari sistem otorita .Dalam membahas mengenai otorita. Weber mengajukan 3 tipe idealnya yang terdiri dari:
1 Otorita tradisional
Otorita tradisional mendasarkan diri pada pola pengawasan di mana legitimasi diletakkan pada loyalitas bawahan kepada atasan
2 Otorita Kharismatik
Sedang otorita kharismatik menunjukkan legitimasi yang didasarkan atas sifat-sifat pribadi yang luar biasa.
3 Legal Rasional
Adapun otorita legal rasional kepatuhan bawahan di dasarkan atas legalitas formal dan dalam yurisdiksi resmi.
Ada dua pandangan dalam merumuskan birokrasi, yaitu:
a. Memandang birokrasi sebagai alat atau mekanisme.
b. Memandang birokrasi sebagai instrumen kekuasaan.
Pentingnya Birokrasi
1 Teori yang lama memandang birokrasi sebagai instrumen politik. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, teori tersebut ditolak, dengan menyatakan pentingnya peranan birokrasi dalam seluruh tahapan atau proses kebijakan publik.
2 Dalam membahas birokrasi ada tiga pertanyaan pokok yang harus diperhatikan:
a) Bagaimana para birokrat dipilih,
b) Apakah peranan birokrat dalam pembuatan keputusan, dan
c) Bagaimana para birokrat diperintah. Dalam hubungannya dengan pertanyaan kedua, hal pertama yang perlu disadari adalah ada perbedaan antara proses pembuatan keputusan yang aktual dengan yang formal. Dalam kenyataan birokrat merupakan bagian dari para pembuat keputusan.
3 Pentingnya peranan birokrasi amat menonjol dalam negara-negara sedang berkembang di mana mereka semuanya telah memberikan prioritas kegiatannya pada penyelenggaraan pembangunan nasional. Di negara-negara ini birokrasi berperan sebagai motor dan penggerak pembangunan. Secara khusus peranan dan pentingnya arti birokrasi tertampilkan dalam fungsinya sebagai pemrakarsa usul pembuatan kebijakan, penasihat dalam kebijakan dan sebagai inovator dan penyedia sumber.
Peran Birokrasi dalam Pemerintahan Modern
Ada 4 fungsi birokrasi di dalam suatu pemerintahan modern:
1 Administrasi
2 Pelayanan
3 Pengaturan
4 Pengumpul Informasi
Kelemahan dan Problema dalam Birokrasi
A. Kelemahan-kelemahan birokrasi terletak dalam hal:
a) Penetapan standar efisiensi yang dapat dilaksanakan secara fungsional.
b) Kecenderungan birokrat untuk menyelewengkan tujuan-tujuan organisasi.
B. Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam birokrasi sebenarnya tidak berarti bahwa birokrasi adalah satu bentuk organisasi yang negatif, tetapi seperti dikemukakan oleh K. Merton lebih merupakan bureaucratic dysfunction.
C. Usaha untuk memperbaiki penampilan birokrasi diajukan dalam bentuk teori birokrasi sistem perwakilan. Asumsi yang dipergunakan adalah bahwa birokrat di pengaruhi oleh pandangan nilai-nilai kelompok sosial dari mana ia berasal. Pada gilirannya aktivitas administrasi diorientasikan pada kepentingan kelompok sosialnya. Sementara itu, kontrol internal tidak dapat dijalankan. Sehingga dengan birokrasi sistem perwakilan diharapkan dapat diterapkan mekanisme kontrol internal. Teori birokrasi sistem perwakilan secara konseptual amat merangsang, tetapi tidak mungkin untuk diterapkan. Karena teori ini tidak realistik, tidak jelas kriteria keperwakilan, emosional dan mengabaikan peranan pendidikan. Menurut pendapat Robert Presthus birokrasi tetap diperlukan. Karena ternyata birokrasi merupakan satu bentuk organisasi yang amat adaptif terhadap program-program yang berbeda. Tetapi, Warren Bennis mengantisipasi bahwa birokrasi akan berakhir 25 atau 50 tahun yang akan datang karena dua hal:
a) Ketidakmampuan birokrasi untuk menyelesaikan konflik mengenai tujuan pribadi dan organisasi.
b) Revolusi ilmu dan teknologi.


Daftar Pustaka
http://setabasri01. Blogspot.com/2009/02/birokrasi.html

Kamis, 19 Mei 2011

Strategi dan Kebijakan Pemerintah dalam Menanggulangi Pengangguran



A. PENDAHULUAN
Salah satu masalah pokok yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia adalah masalah pengangguran. Pengangguran yang tinggi berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap kemiskinan, kriminalitas dan masalah-masalah sosial politik yang juga semakin meningkat. Dengan jumlah angkatan kerja yang cukup besar, arus migrasi yang terus mengalir, serta dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini, membuat permasalahan tenaga kerja menjadi sangat besar dan kompleks.
Memang masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi.
Hal ini akibat dari krisis finansial yang memporak-porandakan perkonomian nasional, banyak para pengusaha yang bangkrut karena dililit hutang bank atau hutang ke rekan bisnis. Begitu banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di-PHK oleh perusahaan di mana tempat ia bekerja dalam rangka pengurangan besarnya biaya yang dipakai untuk membayar gaji para pekerjanya. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya ledakan pengangguran yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif singkat.
Awal ledakan pengangguran sebenarnya bisa diketahui sejak sekitar tahun 1997 akhir atau 1998 awal. Ketika terjadi krisis moneter yang hebat melanda Asia khususnya Asia Tenggara mendorong terciptanya likuiditas ketat sebagai reaksi terhadap gejolak moneter di Indonesia, kebijakan likuidasi atas 16 bank akhir November 1997 saja sudah bisa membuat sekitar 8000 karyawannya menganggur.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap sekitar 1,3 juta orang dari tambahan angkatan kerja sekitar 2,7 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampaui 10 juta orang.
Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data pada tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang ideal bagi negara berkembang macam Indonesia adalah di atas 6%. Jika masalah pengangguran yang demikian pelik dibiarkan berlarut-larut maka sangat besar kemungkinannya untuk mendorong suatu krisis sosial. yang terjadi tidak saja menimpa para pencari kerja yang baru lulus sekolah, melainkan juga menimpa orangtua yang kehilangan pekerjaan karena kantor dan pabriknya tutup. Indikator masalah sosial bisa dilihat dari begitu banyaknya anak-anak yang mulai turun ke jalan. Mereka menjadi pengamen, pedagang asongan maupun pelaku tindak kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik.
Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran dinegara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal.
Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlalu melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
B. PEMBAHASAN
Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, listrik, air bersih dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan.
Oleh karena itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesuai dengan UUD 45 pasal 27 ayat 2. Sebagai solusi pengangguran berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, untuk itu diperlukan kebijakan yaitu :
1. Pemerintah memberikan bantuan wawasan, pengetahuan dan kemampuan jiwa kewirausahaan kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berupa bimbingan teknis dan manajemen memberikan bantuan modal lunak jangka panjang, perluasan pasar. Serta pemberian fasilitas khusus agar dapat tumbuh secara mandiri dan andal bersaing di bidangnya.Mendorong terbentuknya kelompok usaha bersama dan lingkungan usaha yang menunjang dan mendorong terwujudnya pengusaha kecil dan menengah yang mampu mengembangkan usaha, menguasai teknologi dan informasi pasar dan peningkatan pola kemitraan UKM dengan BUMN, BUMD, BUMS dan pihak lainnya.
2. Segera melakukan pembenahan, pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya daerah yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia.
3. Segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Seperti PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan terdata dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci.
4. Segera menyederhanakan perizinan dan peningkatan keamanan karena terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing maupun Penanaman Modal Dalam Negeri. Hal itu perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan iklim investasi yang kondusif untuk menciptakan lapangan kerja.
5. Mengembangkan sektor pariwisata dan kebudayaan Indonesia (khususnya daerah-daerah yang belum tergali potensinya) dengan melakukan promosi-promosi keberbagai negara untuk menarik para wisatawan asing, mengundang para investor untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan yang nantinya akan banyak menyerap tenaga kerja daerah setempat.
6. Melakukan program sinergi antar BUMN atau BUMS yang memiliki keterkaitan usaha atau hasil produksi akan saling mengisi kebutuhan. Dengan sinergi tersebut maka kegiatan proses produksi akan menjadi lebih efisien dan murah karena pengadaan bahan baku bisa dilakukan secara bersama-sama.
7. Dengan memperlambat laju pertumbuhan penduduk (meminimalisirkan menikah pada usia dini) yang diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan sisi angkatan kerja baru atau melancarkan sistem transmigrasi dengan mengalokasikan penduduk padat ke daerah yang jarang penduduk dengan difasilitasi sektor pertanian, perkebunan atau peternakan oleh pemerintah.
8. Menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi secara ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil. Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
9. Segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan yang berorientasi kompetensi. Karena sebagian besar para penganggur adalah para lulusan perguruan tinggi yang tidak siap menghadapi dunia kerja.
10. Segera mengembangkan potensi kelautan dan pertanian. Karena Indonesia mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim dan agraris. Potensi kelautan dan pertanian Indonesia perlu dikelola secara baik dan profesional supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif.
C. KESIMPULAN
Pengangguran adalah problem yang terus menumpuk. Bertambah dari tahun ke tahun. Persoalan pengangguran bukan sekedar bertumpu pada makin menyempitnya dunia kerja, tetapi juga rendahnya kualitas SDM (sumber daya manusia) yang kita punyai.
Beberapa masalah lain yang juga berpengaruh terhadap ketenagakerjaan adalah masih rendahnya arus masuk modal asing, perilaku proteksionis sejumlah negara-negara maju dalam menerima ekspor komoditi, Beberapa masalah lain yang juga berpengaruh terhadap ketenagakerjaan adalah masih rendahnya arus masuk modal asing (investasi), stabilitas keamanan, perilaku proteksionis (travel warning) sejumlah Negara-negara barat terhadap Indonesia, perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan global yang menjadikan krisis pangan didunia, harga minyak dunia naik, pasar global dan berbagai perilaku birokrasi yang kurang kondusif atau cenderung mempersulit bagi pengembangan usaha, serta tekanan kenaikan upah buruh ditengah dunia usaha yang masih lesu.
Disamping masalah-masalah tersebut diatas, faktor-faktor seperti kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan karyawan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik juga sangat berpengaruh terhadap ketenagakerjaan di Indonesia.
Semua permasalahan hal diatas tampaknya sudah dipahami oleh pembuat kebijakan (Decision Maker). Namun hal yang tampaknya kurang dipahami adalah bahwa masalah ketenagakerjaan atau pengangguran bersifat multidimensi, sehingga juga memerlukan cara pemecahan yang multidimensi pula.


DAFTAR PUSTAKA
Friedrik, J. Carl. 1963. Man and His Government. New York : Mc Graw Hill.
Drs. Islamy, M. Irfan, MPA. 1988. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta : PT. Bina Aksara.
Jawa Pos. Kamis 27 Maret, 2008.Atasi pengangguran, Butuh Sinergi, Hlm.9.
http://www.datastatistik-indonesia.com
http://www.organisasi.org

Rabu, 18 Mei 2011

HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DILIHAT DARI SEGI KELEMBAGAAN



A. Peran Kepala Daerah Sebagai Pelaksana dan Subjek Penghubung Derah dan Pemerintah Pusat.
Dalam konteks hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah, Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memilki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintah darah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan kewenangan, keuangan, pelayanan umum, pemenfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Dianutnya Desentralisasi dalam organisasi Negara tidak berarti ditinggalkannya asas Sentralisasi, karena kedua asas tersebut tidak bersifat dikotomis melainkan kontinum.
Pemerintah Pusat dan Kepala Daerah merupakan satu perahu yang mesti sama-sama menjalankan satu garis kebijakan. Proses Demokrasi akan berjalan apabila semua embrio yang ada dalan suatu Negara berjalan bersama dengan saling mengontrol dan mengawasinya. Para Kepala Daerah tidak boleh takut menolak kebijakan-kebijakan pusat yang bertentangan atau tidak sesuai dengan daerahnya, karena kritik dan masukan dari daerahlah yang dapat membantu membangun bangsa ini.
Adapun wewenang, tugas, atau peran Kepala Daerah sebagai pelaksana dan subjek penghubung daerah dengan pemerintah pusat antara lain :
a. Memimpin penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
b. Mengajukan rancangan Perda.
c. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.
f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hokum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan Perundang-undangan, dan
g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kepala Daerah mempunyai kewajiban ubtuk memberikan laporan penyelengaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat. Laporan penyelengaraan Kepala Daerah kepada Pemerintah disampaikan kepda Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota satu kali dalam satu tahun.
Didalam urusan Peraturan Daerah, rancangan Perda Kepala Daerah dan DPRD yang mempersiaakan rancangan Perda yang berasal dari Kepala Daerah diatur dengan Peraturan Presiden. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerah. Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada daerah untuk ditetapkan sebagai Perda.
Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan Perundang-undangan. Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan Perundang-undangan, keapal Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Peraturan Kepala Daerah dan atau keputusan Kepala Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum , Perda, dan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan Perundang-undangan, Kepala Daerah menetapkan peraturan Kepala Daerah dan atau keputusan Kepala Daerah.
Rancangan Perda tentang APBD yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh Kepala Daerah paling lama disampaikan tiga hari kepada Gubernur untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaiakan kepada Gubernur paling lambat 15 hari sejak diterimanya rancangan Perda tentang APBD tersebut.
Didalam kewenangan, system rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas, dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut, yaitu daerah-daerah akan memilki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.
Pada umumnya, hubungan antara Kepala Daerah dan Pemerintah Pusat juda Terefleksi dalam Intergovermental Fiscal Relations. Pelimpahan tugas kepada Kepala Daerah juga disertai dengan pelimpahan keuangan, pendelegasian pengeluaran sebagai konsekuensi diberikannya kewenangan yang luas serta tanggungjawab pelayanan public tentunya harus diikuti dengan adanya pendelegasian pendapatan. Hubungan keuangan Pusat dan Daerah dimanapun sangat dipandang dalam menentukan kemandirian Otonomi. Inti hubungan keuangan Pusat dan Daerah adalah perimbangan keuangan Kepala Daerah dalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaan, Kepala Daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban serta pengawasan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah.



B. Hubungan Kerja Kepala Daerah dengan DPRD
Kepala Daerah berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD tentang pelaksanaan Pemerintahan Daerah yang dipimpinnya, karena DPRD adalah salah satu unsure Pemerintah Daerah.
Kepala Daerah bersama DPRD mempunyai tugas-tugas sebagai berikut :
1. Membuat Peraturan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangannya dalam berbagai bidang. Peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini Undang-undang dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.
2. Menggali sumber keuangan untuk menyelenggarakan rumah tangganya dengan jalan mengadakan Pajak, menarik retribusi terhadap jasa-jasa yang diberikan kepada penduduk, dan mengadakan pinjaman.
3. Berhak menguisahakan sumber daya yang ada di daerahnya.
4. Melaksanakan pengawasan terhadsap pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, peraturan Kepala Daerah, APBD, kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah, dan kerja sama Internasioanl di daerah.
5. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana perjanjian Internasional di daerah.
Dalam Pemerintahan Daerah, DPRD pada hakekatnya disamping merupakan badan resmi yang mewakili rakyat juga sebagai mitra eksekutif dalam merumuskan kebijakan dalam rangka menjalankan roda Pemerintahan Daerah. Selain itu kedua lembaga tersebut mempunyai kedudukan yang sejajar.
Dalam kedudukannya sebagai badan Legislatif daerah, DPRD bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah. Dengan tanpa menguraikan makna mitra itu sendiri secara lebih mendetail. Namun sebagai lembaga Pemerintah Daerah, DPRD mempunyai kedudukan setara dan memiliki hubungan kerja bersifat kemitraan dengan Pemerintah Daerah, hal ini sebagaiman diatur dalam undang-undang No. 32 tahun 2004. Kedudukan yang setara bermakna bahwa antara DPRD dan Pemerintah Daerah memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam arti tidak saling membawahi. Hubungan bersifat kemitraan berarti DPRD merupakan mitra kerja Pemerintah Daerahdalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan Otonomi Daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Berdasarkan hal tersebut antar kedua lembaga wajib memelihara dan membangun hubungan kerja yang harmonis dan satu sama lain harus saling mendukung, bukan sebagai lawan atau pesaing.
Untuk terjalinnya hubungan kerja yang harmonis dan saling mendukung, diperlukan adanya pengaturan tentang hak-hak protokoler dan keuangan Pimpinan dan anggota DPRD. Hal tersebut agar masing-masing memperoleh hak dan melaksanakan kewajiban meningkatkan peran dan tanggungjawab mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakn tugas dan kewenangannya, mengembangkan hubungan dan mekanisme checks and balances antara lembaga Legislatif dan Eksekutif, meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Kemitraan dan kesejajaran ini selain dapat dilihat dari penelitian atau pengambilan kebijakan secara bersama-sama, juga dapat dilihat dari pengaturan akan setiap penyelenggaraan pelaksanaan acara kenegaraan atau secara resmi pengaturan akan posisi pimpinan dan anggota DPRD pada setiap acara yang digelar secara resmi. Oleh sebab itu, lembaga DPRD merupakan badan legislative daerah yang berfungsi menetapkan tugas pemerintahan dibidang politik, sedangkan Pemerintah Daerah sebagai badan Eksekutif daerah, berfungsi menyelenggarakan pelaksanakan dari pada Garis-garir Besar Haluan Pembanguna Daerah (GBHD) yang telah ditetapkan oleh badan legislative daerah.
Pada prinsipnya urgensi jenis hubungan antara eksekutif dan legislative tersebut meliputi hal-hal, yaitu : reprentasi, anggaran, pertanggungjawaban, pembuatan Peraturan Daerah, pengangkatan Sekretaris Daerah, pembinaan, dan pengawasan. Hubungan Eksekutif dan Legislatif mengemukakan tiga pola hubungan Legislatif-Eksekutif yang secara realistic dapat dikembangkan. Ketiga hubungan itu adalah :
1) Bentuk komunikasi dan tukar menukar informasi.
2) Bentuk kerjasama atas beberapa subjek, program, masalah, dan pengembangan regulasi.
3) Kalrifikasi atas berbagai permasalahan.
Ketiga bentuk hubungan tersebut berbeda-beda dalam peran dan aktualisasi masing-masing pihak, baik eksekutif maupun legislative dan yang paling berat dirasakan kedua belah pihak mungkin dalam hubungan klarifikasi. Namun, kolaborasi tersebut hanya mungkin menjadi kenyataan jika dikembangkan etika yang dapat merefleksikan bahwa DPRD bukan sebagai ancaman tetapi lembaga yang bekerja untuk kepentingan masyarakat. Sebaliknya Pemerintah Daerah diharapkan mampu menciptakan suasana kondusif yang dapat mendorong DPRD bekerja secara independent dan tetap kritis.
C. Hubungan Kerja Pemerintah Daerah dengan Lembaga Lain Pada Tingkat Lokal
Salah satu hubungan kerja Pemerintah Daerah dengan lembaga-lembaga lain ditingkat local ialah kewenangan untuk menjalankan koordinasi atau kegiatan antar lembaga-lembaga local baik dalam pelaksanaan untuk mencapai dayaguna dan hasilguna yang sebaik-baiknya dan berupa pemberian laporan rencana dan kegiatan dari lembaga-lembaga lain tersebut kepada Pemerintah Daerah. Dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga lain ditingkat local, Pemerintah Daerah harus selalu memperhatikan dan tidak boleh bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berhubung dengan diberikannya tugas koordinasi kepada daerah, maka lembaga-lembaga lain ditingkat local berada dibawah koordinasi Pemerintah Daerah selaku wakil pemerinttah. Dalam hubungan itu, lembaga-lembaga lain tersebut wajib melaporkan segala rencana dan kegiatan, member keterangan-keterangan yang diminta dan mematuhi petunjuk-petunjuk umum yang diberikan Pemerintah Daerah.


Daftar Pustaka
Buku :
Pamudji, S. 1983. Kerjasama Antar Daerah. Jakarta: Media Aksara
Widiyanti, Ninik. 1987. Kepala Daerah dan Pengawasan dari Pusat. Jakarta: Bumi Aksara

Internet :
http://sakatik.blogspot.com/2008/10/hubungan-pusat-dan-daerah-dari-aspek

Senin, 09 Mei 2011

HAKIKAT MANUSIA



Berbicara tentang manusia maka satu pertanyaan klasik yang sampai saat ini belum memperoleh jawaban yang memuaskan adalah pertanyaan tentang siapakah manusia itu. Banyak teori telah dikemukakan, di antaranya adalah pemikiran dari aliran materialisme, idealisme, realisme klasik, dan teologis.
Aliran materialisme mempunyai pemikiran bahwa materi atau zat merupakan satu-satunya kenyataan dan semua peristiwa terjadi karena proses material ini, sementara manusia juga dianggap juga ditentukan oleh proses-proses material ini.
Sedangkan aliran idealisme beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian. Aliran realisme klasik beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian, dan aliran teologis membedakan manusia dari makhluk lain karena hubungannya dengan Tuhan.
Di samping itu, beberapa ahli telah berusaha merekonstruksikan kedudukan manusia di antara makhluk lainnya. Juga berusaha membandingkan manusia dengan makhluk lainnya. Dari hasil perbandingan tersebut ditemukan bahwa semua makhluk mempunyai dorongan yang bersifat naluriah yang termuat dalam gen mereka.
Sementara yang membedakan manusia dari makhluk lainnya adalah kemampuan manusia dalam hal pengetahuan dan perasaan. Pengetahuan manusia jauh lebih berkembang daripada pengetahuan makhluk lainnya, sementara melalui perasaan manusia mengembangkan eksistensi kemanusiaannya.

Rabu, 04 Mei 2011

ANATOMI HUBUNGAN PUSAT DAERAH

ANATOMI HUBUNGAN PUSAT DAERAH
A. KOORDINASI PEMERINTAHAN
(1) Pengertian Koordinasi dan Hubungan Kerja
Jame D. Mooney, mendefenisikan koordinasi sebagai pencapaian usaha kelompok secara teratur dan kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama.
Hubungan Kerja ialah keseluruhan rangkaian kegiatan antar satuan-satuan kerja organisasi yang satu dengan lainnya merupakan kebulatan yang utuh dalam rangka mencapai tujuan organisasi sebagai keseluruhan secara efektive dan efisien.
(2) Fungsi dan Sistem Koordinasi
Fungsi Koordinasi
a) Koordinasi adalah salah satu fungsi managemen, di samping adanya fungsi perencanaan, penyusunan pegawai, pembinaan kerja, motivasi dan pengawasan.
b) Koordinasi merupakan usaha untuk menjamin kelanncaran mekanisme prosedur kerja dari berbagai komponen dalam organisasi.
c) Koordinasi adalah merupakan usaha yang mengarahkan dan menyatukan kegiatan dari satuan kerja organisasi, sehingga organisasi bergerak sebagai kesatuan yang bulat guna melaksanakan seluruh tugas organisasi yang diperlukan untuk mencapai tujuannya.
d) Koordinasi adalah factor dominan yang perlu diperhatikan bagi kelangsungan hidup suatu oraganisasi.
e) Koordinasi tetap memainkan peranan yang penting dalam merumuskan pembagian tugas, wewenang, dan tanggungjawab.
f) Pertumbuhan organisasi berarti penambahan beban kerja atau fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan oleh organisasi yang bersangkutan.
g) Timbulnya spesialisasi yang semakin tajam merupakan konsekuensi logis dari pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang perlu diperhatikan oleh organisasi dengan harapan para spesialis ini memainkan peranan yang tidak lepas kaitannya dengan hal-hal yang lebih umum dan lebih luas.

Pendekatan Sistem ( system approach )
Pendekatan system koordinasi dan hubungan kerja terdiri atas :
a) Pendekatan antar disiplin
b) Pendekatan multi fungsional
c) Pendekatan lintas sektoral.

(3) Metode dan Teknik Koordinasi
1 Koordinasi melalui kewenangan
2 Koordinasi melalui consensus
3 Koordinasi melalui Pedoman Kerja
4 Koordinasi melalui suatu forum
5 Koordinasi melalui konferensi.
Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
1. Pengertian
Yang dimaksud Hubungan Pusat dan Daerah adalah hubungan antara aparatur pemerintah Pusat sebagai keseluruhan dengan aparaturPemerintah di Daerah, termasuk hubungan suatu unit aparatur Pemerintah Pusat dengan unit Pemerintah di Daerah.
Yang dimaksud unit Pemerintah Pusat adalah seluruh aparatur dari unit pemerintah pusat baik yang berada di pusat pemerintahan Negaramaupun yang berada di Daerah
2. Pelaksanaan Hubungan Kerja Pemerintah Pusat dan Daerah
a. Di tingkat Pusat
1) Gubernur/Kepala Daerah bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri selaku pembantu Presiden dalam masalah-masalah pemerintahan daerah.
2) Menteri Dalam Negeri memberikan pedoman/bimbingan, koordinasi dan pengawasan terhadap pemerintahan di daerah.

b. Di tingkat Daerah
1) Semua instansi vertical secara teknis, organisatoris dan administrative bertanggungjawab kepada Menteri yang bersangkutan, tetapi taktis operasional tunduk kepada koordinasi Gubernur/kepala Daerah (Inpres No.48/1967).
2) Instansi Otonomi Daerah mempunyai hubungan hirarkis dengan Kepala Daerah, tetapi secara teknis fungsional mendapat bimbingan dari Departemen yang bertugas dalam bidang teknis yang sama (Inpres No. 48/1967).
3) Dalam memimpin pemerintahan Daerah Gubernur/kepala Daerah mendapat bantuan nasehat dari Badan Pertimbangan Daerah (BPD) (Undang-undang No. 5 1974)
B. KERJASAMA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH
1) Kerjasama
Kerjasama pada hakikatnya mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih yang ber-interaksi atau menjalin hubungan-hubungan yang bersifat dinamis untuk mencapai suatu tujuan bersana.
2) Bidang-bidang Kerjasama
Menurut ketentuan pasal 3 dari peraturan Menteri Dalam Negeri no. 6/1975, kerjasama antar daerah dapat meliputi semua urusan pemerintahan yang termasuk urusan rumah tangga Daerah dan urusan tugas pembantuan. Urusan rumah tangga Daerah pada hakikatnya adalah segala urusan pemerintahan yang telah diserahkan dalam rangka pelaksanaan Otonomi dari Daerah yang bersangkutan. Adapun urusan tugas pembantuan menurut UU No. 5 tahun 1974 adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
3) Berbagai Bentuk Kerjasama Antar Daerah
a) Kerjasama Bilateral
Suatu kerangka kerjasama yang hanya melibatkan dua pihak, misalnya antara dua daerah tingkat II dalam satu Daerah tingkat I atau antara dua Daerah tingkat I merupakan kerjasan Bilateral.
b) Kerjasama Multilateral
Kerjasama antar Daerah yang dilakukan oleh tiga Daerah atau lebih untuk mengatur secara bersama-sam,a kepentingan daerahh-daerah yang bersangkutan.
4) Prosedur Kerjasama
Kerjasama antara Daerah merupakan suatu kerangka kerjasama antara dua atau lebih Pemerintah Daerah yang setingkat di dalam nenangani suatu atau beberapa obyek tertentu demi tercapainya kepentingan masing-masing pihak. Oleh karna kerjasama ini merupakan kerjasama yang bersifat formal, maka prosedur penetapannya ke dalam suatu Persetujuan Kerjasama harus dilakukan di atas kerangka Peraturan Bersama (pasal 4 ayat (1) peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6/1975).

Kerjasama di antara Daerah-daerah Tingkat II dalam satu Propinsi:
a. Pada tingkat awal, gagasan tentang kerjasama itu dicetuskan oleh salah satu pihak yang merasa berkepentingan.
b. Tahap kedua adalah prakarsa untuk melakukan kontak-kontak dengan Daerah tingkat II yang akan diajak bekerjasama.
c. Setelah prinsip-prinsip umum dari kerjasama, dan penetapan obyek kerjasama telah disepakati, maka langkah-langkah yang lebih maju dapat dilakukan
Beberapa hal yang mutlak dibicarakan karena akan dituangkan ke dalam Peraturan Bersama sesuai dengan petunjuk Menteri Dalam Negeri (peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 1975 pasal 4 ayat (2) adalah sebagai berikut:
1) Ruang lingkup bidang-bidang yang dikerjasamakan
2) Susunan organisasi dan personalia
3) Tata cara dan ketentuan-ketentuan teknis pelaksanaan kerjasama
4) Pembiayaan
5) Jangka waktu
6) Ketentuen-ketentuen lain yang dipandang perlu.

C) Pengawasan Pusat Daerah
Ada beberapa bentuk dan sasaran pengawasan yang semuanya dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Pengawasan yang dilakukan oleh Kepala Wilayah seperti yang dilakukan di dalam pasal 41 UU No. 5 tahun 1974 ayat d, yaitu: “ membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah”.
b. Pengawasan Umum. Pengawasan ini dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Sasarannya adalah jalannya pemerintahan daerah.
c. Pengawasan Prepentif. Sasaran pengawasan ini adalah Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah untuk meneliti apakah Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
Di bidang pengawasan pelaksanaan pembangunan di Daerag, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a. Fungsi Pengawasan
Pengawasan adalah salah satu fungsi managemen di samping fungsi-fungsi managemen lainnya, yaitu fungsi staf dan perencanaan dan fungsi pelaksanaan.
b. Prinsip-prinsip Pengawasan
Pengawasan merupakan suatu proses yang terus-menerus yang dipaksakan dengan jalan mengulangi secara teliti dan periodic.
c. Pengertian Pengawasan
Sesuai dengan pola oraganisasi Negara, maka akan ditemukan tiga unsure organisasi yaitu unsure staf dan perencanaan, unsure pengawasan dan pelaksanaan.
d. Tujuan Pengawasan
Pengawasan bertujuan untuk mengetahui apakah pelaksanaan sesuai dengan rencana yang ditetapkan ataukah tidak.


e. Pengawasan Umum
Kewenangan untuk melakukan pengawasan umum atas jalannya pemerintahan di daerah dan pemeriksaan serta penyelidikan tentang segala hal mengenai pekerjaan pemerintah Daerah di semua tingkatan berada dalam pelaksanaannya menunjuk inspektorat Jenderal sebagai pihak yang atas nama Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan umum.
f. Inspektorat Wilayah Daerah
Dalam rangka peningkatan tugas pengawasan, oleh Menteri Dalam Negeri telah ditetapkan pembentukan Inspektorat Wilayah Daerah dengan surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100 tahun 1972.
g. Inspektorat Jenderal Proyek-proyek Pembangunan
Dengan surat Keputusan Presiden No. 25 tahun 1974 telah ditetapkan pembentukan Inspektorat Jenderal pembangunan (irjenbang), dengan tugas untuk menyelenggarakan pengawasan atas pelaksanaan proyek-proyek rangka program sektoral, proyek-proyek Inpres, proyek-proyek Bantuan Desa dan proyek-proyek Daerah.
h. Inspektorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara
Badan ini adalah unit pengawasan dari Departemen Keuangan yang bertugas melakukan pengawasan keuangan Negara di Pusat maupun di Daerah.
i. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BPK adalah badan pengawas Keuangan Negara yang mempunyai wewenang yang luas sekali, meliputi keuangan, Negara dan keuangan Daerah.


DAFTAR PUSTAKA

Handayana, Soewarno. 1982. Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: CV Haji Masagung.
Pamudji, S. 1983. Kerjasama Antar Daerah. Jakarta: Media Aksara
Widiyanti, Ninik. 1987. Kepala Daerah dan Pengawasan dari Pusat. Jakarta: Bumi Aksara

KEBIJAKAN PUBLIK

KEBIJAKAN PUBLIK
A. PENDAHULUAN

Pembuatan keputusan (decision making) berada di antara perumusan kebijakan dan implementasi, akan tetapi kedua hal tersebut saling terkait satu sama lain.Keputusan mempengaruhi implementasi dan implementasi tahap awal akan mempengaruhi tahap pembuatan keputusan yang pada gilirannya, akan mempengaruhi implementasi berikutnya.Pembuatan keputusan, karena itu, bukanlah proses pasif.Keputusan adalah sebuah proses dan keputusan awal sering kali hanya merupakan sinyal penunjuk arah dorongan awal, yang nantinya akan mengalami revisi dan diberi spesifikasi.jika kita defenisikan pembuatan keputusan sebagai suatu proses penentuan pilihan, maka gagasan tentang keputusan akan menyangkut serangkaian poin dalam ruang dan waktu ketika pembuat kebijakan mengalokasikan nilai-nilai (values).Pembuatan keputusan dalam pengertian ini ada diseluruh siklus kebijakan, misalnya: keputusan mengenai apa yang bias digolongkan sebagai “problem”, informasi apa yang harus dipilih, pemilihan startegi untuk mempengaruhu kebijakan, pemilihan opsi-opsi kebijakan yang harus dipertimbangkan, pemilihan cara menyeleksi opsi, dan pemilihan cara-cara mengevaluasi kebijakan-kebijakan.Pada masing-masing poin tersebut terdapat proses pembuatan keputusan.Beberapa keputusan melibatkan alokasi nilai dan distribusi sumbeer daya melalui perumusan kebijakan, atau melalui pelaksanaan program.Karenanya pembuatan keputusan etrjadi di arena dan level yang berbeda-beda.Pada satu level ada keputusan oleh actor kebijakan tinggi (high policy actor) untuk membuat kebijakan kesehatan nasional atau kebijakan dalam bidang ekonomi.Pada level lainnya ada keputusan dari actor lain.Beberapa keputusan lebih signifikan ketimbang keputusan lainnya, dan beberapa keputusan lain kurang signifikan dibandingkan keputusan lainnya.Pemerintahan modern harus dilihat sebagai aktivitas penyusunan kebijakan yang kompleks dan berlapis-lapis, dimana penyusunan ini dilakukan dibanyak titik yang berbeda-beda.Dalam rangka pengambilan keputusan dari sebuah kebijakan terdapat berbagai factor yang dapat mempengaruhi pembuatan keputusan.Di bawah ini akan dijelaskan beberapa factor yang menghambat proses pembuatan keputusan.

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBUATAN KEPUTUSAN DARI KEBIJAKAN
Terdapat beberapa pendekatan yang menjadi factor yang mempengaruhi pembuatan keputusan, antara lain:
1. Pendekatan Kekuasaan
Model kekuasaan (power) memandang pembuatan keputusan sebagai sesuatu yang dibentuk dan ditentukan oleh struktur kekuasaan: kelas, orang kaya, tatanan birokratis, dan tatanan politik, kelompok penekan, dan kalangan professional atau ahli pengetahuan teknis.Enam macam pendekatan kekuasaan dalam pembuatan keputusan:
 Elitisme: berfokus pada cara kekuasaan dikonsentrasikan
Model proses kebijakan elitis berpendapat bahwa kekuasaan terkosensentrasi ditangan sebagian orang atau kelompok.Menurut model ini pembuatan keputusan adalah proses yang dilaksanakan demi keuntungan elit-elit tertentu.Sebagai sebuah model pembuatan keputusan, tujuan elitism didasarka pada analisis terhadap cara dunia riil berjalan.Dikatakan bahwa dalam dunia riil ada pihak-pihak yang berada diatas yang memegang kekuasaan dan ada massa yang tidak memegang kekuasaan.Model ini berasal dari ilmu social modern, yakni berakar pada pendapat seorang ahli yaitu Karl Marx, yang berpendapat bahwa elitisme adalah sesuatu yang tak bisa dihinda; masyarakat tanpa kelas adalah mitos, dan demokrasi tal lebih adalah sekedar pura-pura.Demokrasi juga dapat dilihat sebagai sebentuk politik, dimana elit-elit politik bersaing untuk mendapatkan suara dari rakyat guna mengamankan legitimasi kekuasaan.
 Pluralisme: berfokus pada cara kekuasaan didistribusikan
Dalam mengkaji kebijakan public, kaum pluralis cenderung mengasumsikan kebijakan public pada dasarnya adalah hasil dari persaingan bebas antara ide dan kepentingan.Kekuasaan dianggap didistribusikan secara luas dan system politik sangat teratur sehingga proses politik pada esensinya dikendalikan oleh tuntutan dan opini public.Di wilayah pluralis, partisipasi dalam permainan politik etrbuka untuk semua orang, akan tetapi pandangan demokrasi liberal ini ditentang karena banyak pihak yang beranggapan tidak selalu benar bahwa orang dengan kebutuhan yang banyak akan paling aktif berpartisipasi dalam pentas politik.Barang siapa yang menentukan permainan apa yang akan berlaku maka ia berhak menentukan siapa yang ikut dalam permainan politik itu sendiri.

 Marxisme: berfokus pada konflik kelas dan kekuasaan ekonomi
Gagasan bahwa problem dan agenda adalah satu set dalam satu dimensi yang tidak bisa diamati secara behavioral adalah gagasan yang bisa dijumpai dalam teori-teori yang lebih luas, yang bisa kita sebut teori mendalam.Teori mendalam ini menyatakan bahwa pelaksanaan kekuasaan dalam mendefenisikan problem dan menetapkan agenda adalah sesuatu yang terjadi di tingkat yang lebih dalam ketimbang yang kita lihat dipermukaan atau di level keputusan.
 Korporatisme: berfokus pada kekuasaan kepentingan yang terorganisir
Korporatisme adalah istilah yang berasal dari abad pertengahan dan dalam gerakan fasis pada periode antar perang dunia.Istilah ini mengandung teori tentang masyarakat yang didasarkan pada pelibatan kelompok-kelompok dalam proses pembuatan kebijakan Negara sebagai mode untuk mengatasi konflik kepentingan.Akan tetapi sebagai kerangka analitis yang dikennal sebagai neo-korporatisme telah ternoda, lebih banyak ketimbang konsep lainnya.Istuilah ini menjadi teori popular pada 1970-an dan 1980-an sebagai explanatory, dan mungkin yang lebih signifikan sebagai alat yang dipakai para politisi dan kelompok lainnya.
 Profesionalisme: berfokus pada kekuasaan kalangan professional
Perhatian utama dalam analisis kebijakan kontemporer adalah sejauh mana elit professional mendapatkan kekuasaan dalam pembuatan keputusan dan dalam implementasi kebijakan public di dalam demokrasi liberal.Aliran liberal, khususnya, mengkritik cara dimana pertumbuhan big government membuat pembuatan keputusan menjadi dikuasai oleh kelompok professional yang lebih tertarik pada pengambilan keuntungan dan kepentingan mereka sendiri ketimbang kepentingan public yang mereka layani.
 Teknokrasi: berfokus pada kekuasaan pakar teknis.
Model pembuatan keputusan ini menganggap masyarakat sebagai entitas yang bergerak menuju aturan berdasarkan rasionalitas ilmiah.Model ini adalah ide-ide yang banyak diexplorasi dalam fiksi sains, dan merupakan tema esensial dari para filsup.Model ini menopang teori manajemen.Sebagai gerakan social, teknokrasi muncul di AS sebelum perang dunia pertama.Pada periode antara dua perang dunia, kampanye mendukung agar masyarakat diatur secara rasional.

2. Pendekatan Pilihan Publik

a) Ilmu Pilihan Publik
Para ahli teori kekuasaan birokrasi dalm proses pembuatan keputusan mengatakan bahwa salah satu karakteristik utama dari negara modern adalah cara dimana kekuasaan birokratis, atau teknokratik, semakin bertambah dengan melayani kepentingan “dirinya sendiri” daripada melayani kepentingan public.Fokus pada birokrasi sangat penting untuk menganut aliran pilihan public (public choice), yang ide-idenya sangat berpengaruh dalam penentuan agenda politik pada akhir 1970-an.Asal-usul pendekatan ini bisa ditemui dalam karya Gordon Tallock dan Anthony Dawson.Perhatian mereka adalah pada alasan dan motivasi dari agen-agen administrative dan departemen pemerintahan.Sebagai aliran teori, pengaruh mereka terhadap agenda politik, terutama di Inggris dan AS, tidak bisa diremehkan.Alasan dibalik pengaruh ini adalah fakta bahwa argument pilihan public tentang ketidakefisienan dan pembengkakan birokratis telah didukung oleh think thank partai-partai politik.Karya Gordon Tullock umumnya dianggap sebagai kontribusi paling awal untuk pendekatan pilihan public.
b) Alternative untuk Model Pilihan Publik
Teori pilihan public sangat mempengaruhi teori dan praktik kebijakan public.Akan tetapi, ada beberapa kerangka alternative untuk menganalisis jenis-jenis isu yang menjadi perhatian teoritis pilihan public.Dalam makalah ini terdapat tiga pendekatan tentang alternative untuk model pilihan public:
 Teori Manajemen
 Model pembentukan Biro
3. Pendekatan Institusional

Pendekatan kebijakan sebagian besar berkembang dari kekecewaan terhadap pendekatan yang murni pada politik, yakni dari segi eksekutif, legislative, dan konstitusi.Kotak hitan David Easton memberikan prosfek analisis yang melihat pada politik dan kebijakan dengan cara yang mengabaikan institusi dan konstitusi dan lebih menitikberatkan pada proses kebijakan secara keseluruhan.Akan tetapi, belakangan muncul kesadaran akan arti penting penempatan kebijakan public dalam konteks institusi.Dalam makalah ini dispesifikasikan tiga kerangka analisis institusional:
 Institusionalisme sosiologis
 Institusionalisme ekonomi
 Institusionalisme politik
Kerangka pertama adalah sezaman dengan fungsionalisme structural David Easton.Perhatiannya melampaui struktur formal dari institusi-institusi dan mengkaji apa yang institusi lakukan atau apa fungsinya, dan bagaimana mereka menjalankan fungsi itu dalam realitas, yang berbeda dengan gagasan tipe rasional.Sebagai sebuah pendekatan, kerangka ini orientasinya empiris dan penyampaian gagasannya melalui studi kasus yang mudah difahami, bukan dengan model teoritis yang biasa dipakai dalam teori ekonomi.Institualisme sosiologis lebih memilih pendekatan historis untuk studi kasus, dan berbeda dengan institualisme ekonomi yang lebih focus pada institusi perusahaan.Di lain pihak, instutusi ekonomi berkembang dari teori-teori perusahaan yang aplikasinya utamanya dalan hal analisis ekonomi.Ada beberapa upaya untuk mengaplikasikan teori-teori tersebut untuk pembaruan institusi politik maupun kebijakan public.Pendekatan yang berasal dari arah lain, seperti teori hubungan antara masyarakat dan Negara, dan konsekuensinya defenisi institusi mereka berbeda.Jadi, meski mereka bersama-sama menitikberatkan pada soal institusi, namun mereka berbeda dalam hal lain, seperti apa makna dari konsep institusi itu sesungguhnya.Masing-masing memberikan pandangan yang berbeda tentang bagaimana institusi membentuk cara pengambilan keputusan, dan khususnya dalam institualisme ekonomi, tentang bagaimana institusi itu disusun agar bisa berfungsi secara efisien.


DAFTAR PUSTAKA

 Parsons, Wayne. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Analisis kebijakan. Jakarta: KENCANA

Desentralisasi dan Otonomi Daerah Perspektif Historis

Desentralisasi dan Otonomi Daerah Perspektif Historis
Sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan, para pendiri bangsa ini menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen dan terdiri dari berbagai daerah yang mana masing-masing daerah memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Dalam konteks itu maka para pendiri bangsa itu memutuskannya dalam bentuk pasal 18 UUD 1945. Dalam pasal tersebut disebutkan, “pembentukan Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Dalam upaya melaksanakan ketentuan pasal 18 UUD 1945 tersebut, untuk pertama kali pemerintah RI mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1945. Jadi, sebelum mengatur yang lain, pemerintah lebih dahulu mengeluarkan tentang bagaimana mengaplikasikan ketentuna pasal 18 tersebut. Tentu UU ini tidak sempurna dan tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya. Tetapi, apresiasi yang kita berikan adalah di mana Pemerintah tampak segera melaksanakan politik desentralisasi dan memberikan hak-hak otonomi kepada daerah-daerah, di samping tetap menjalankan politik dekonsentrasi.
Menyadari akan kekurangan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1945, pemerintah bersama BP-KNIP berupaya melahirkan UU Otonomi Daerah yang benar-benar didasarkan atas kedaulatan rakyat. Dalam rangka itu kemudian lahirlah UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Upaya untuk memperbaiki kekurangan tersebut dan agar sesuai dengan harapan rakyat, tampak terlihat dalam Penjelasan Umum dari UU ini, yaitu: “Baik pemerintah maupun Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat merasa akan pentingnya untuk dengan segera memperbaiki pemerintah daerah yang dapat mengetahui harapan rakyat, ialah pemerintahan daerah yang kolegial berdasarkan kekuasaannya”. Satu hal prinsip yang penting dari UU No. 22 tahun 1948 ini adalah memberikan hak otonomi yang seluas-luasnya kepadda badan pemerintah daerah yang tersusun secara demokratis
Saat Indonesia kembali menjadi Negara kesatuan dan berdasarkan UUDS 1950, pemerintah mengeluarkan UU baru tentang pemerintahan daerah, yaitu UU No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintah Daerah. UU ini secara garis besar mengandung tiga prinsip dasar desentralisasi yaitu:
1 Di Daerah-daerah, hanya ada satu bentuk system pemerintahan, yaitu pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2 Daerah-daerah dibentuk menurut susunan derajat dari atas ke bawah sebanyak-banyaknya tiga tingkat.
3 Kepada daerah-daerah akan diberikan hak otonom yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan menganut system otonomi riil.
Ketika konstelasi politik berubah, di mana Indonesai tidak lagi menganut Demokrasi Parlementer tetapi menerapkan Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 juli 1959 dengan kembali ke UUD 1945, otonomi daerah mengalami kemunduran. Legge menyebutnya sebagai Retrent from Autonomi. Mengapa ini terjadi, karena pemerintah mengambil tindakan drastis dengan mengubah UU No. 1 tahun 1957 dan menggantinya dengan Penpres No. 6 tahun 1959 dan kemudian disempurnakan melalui Penpres No. 5 tahun 1960. Dalam Penpres No. 6 tahun 1959 menetapkan prinsip-prinsip pokok yaitu:
1 Penyelenggaraan tugas di bidang pemerintahan umum pusat di daerah dan tugas di bidang ekonomi daerah, diletakkan pada satu tangan, yaitu Kepala Daerah.
2 Kedudukan Kepala Daerah tidak hanya sebagai alat daerah, tetapi sekaligus sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
3 Dalam kedudukan seperti ini, Kepala Daerah adalah pegawai Negara, tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden.
4 Dalam menjalankan kekuasaan eksekutif Kepala Daerah tidak lagi bersifat kolegial, melainkan bersifat tunggal.
5 Kepala Daerah mempunyai kekuasaan untuk menangguhksan keputusan DPRD yang bersangkutan dan keputusan pemerintah daerah bawahannya.
6 Menurut Penpres No. 5 tahun 1960, Kepala Daerah karena jabatannya adalah ketua DPRD dan bukan anggota.
Pada tahun 1965, pemerintah baru mengeluarkan UU sebagai pengganti Penpres No. 6 tahun 1959, yaitu UU No. 28 tahun 1965. UU ini mencoba menerangkan pokok-pokok pikiran cita desentralisasi dari perundang-undangan sebelumnya. Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa pemerintah akan terus dan konsekuen menjalankan politik desentralisasi yang kelak akan menuju kea rah tercapainya desemtralisasi territorial, yaitu meletakkan tanggungjawab territorial riil dan seluas-luasnya dalam tangan pemerintah daerah.
Ketika pergantian rezim dari Demokrasi Terpimpin Rezim Orde Baru, kebijakan otonomi daerah juga mengalami perubahan. Cita-cita untuk mewujudkan politik desentralisasi menjadi terhanbat. Sebab, melalui kebijakan UU No. 5 tahun 1974 selain menerapkan asan desentralisasi, pemerintah pusat masih memiliki wewenang dalam mengatur urusan-urusan yang dikelolanya di daerah lewat asa dekonsentrasi dan medebewind. Meski dalam UU menyebutkan bahwa pemerintah mencanangkan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, namun dalam operasional prinsip tersebut menimbulkan perubahan, yaitu dari desentralisasi menjadi dekonsentrasi. Hal ini berdampak daerah tidak memiliki ruang gerak dalam penetapan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan yang bertalian dengan urusan yang diembannya. Kenyataan lain adalah terbatasnya wewenang daerah dalam bidang keuangan. Sistem yang terpusat juga dijunpai dalam bidang kepegawaian.
Singkatnya kebijakan desentralisasi pada masa Orde Baru dalam praktik cenderung ke bandul sentralisasi. Ada beberapa hal yang dapay menjelaskan mengapa hingga terjadi seperti itu. Pertama, sejak awal pemerintah Orde Baru dalam menciptakan otonomi adalah untuk menciptakan keamanan, ketertiban, ketenangan, persatuan, dan stabilitas. Kedua, Pemerintah Orde Baru menganut formula setengah resmi dalam strategi ini, para ahli ekonomi berfungsi sebagai pembuat kebijakan, militer sebagai stabilisator, dan birokrasi sipil sebagai pelaku pelaksana. Ketiga, pemerintah ingin selalu memusatkan sumber daya yang tetap langka untuk keperluan pembangunan, sehingga distribusi dan penggunaannya memenuhi criteria keadilan dan efisiensi.








DAFTAR PUSTAKA
Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rabu, 27 April 2011

Etika Administrasi Publik

Etika Administrasi Publik



Definisi etika
Definisi etika administrasi public

Beberapa Definisi
• Etika, dari bahasa Yunani ethos, artinya: kebiasaan atau watak
• Moral, dari bahasa Latin mos (jamak: mores), artinya: cara hidup atau kebiasaan.
• Norma, dalam bahasa Latin, norma berarti penyiku atau pengukur, dalam bahasa Inggris, norm, berarti aturan atau kaidah
• Nilai, dalam bhs Inggris value, berarti konsep tentang baik dan buruk baik yang
Definisi Etika Administrasi Publik
• Ethics is the rules or standards governing, the moral conduct of the members of an organization or management profession (Chandler & Plano, The Public Administration Dictionary, 1982)
• Aturan atau standar pengelolaan, arahan moral bagi anggota organisasi atau pekerjaan manajemen
• Aturan atau standar pengelolaan yang merupakan arahan moral bagi administrator publik dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat
Posisi Etika dalam Studi Administrasi Publik
• Teori administrasi publik klasik (Wilson, Weber, Gulick, Urwick) kurang memberi tempat pada pilihan-pilihan moral (etika).
• Kebutuhan moral administrator hanyalah keharusan untuk menjalankan tugas sehari-hari secara efisien.
• Dengan diskresi yang dimiliki, administrator publik tidak hanya harus efisien, tapi juga harus dapat mendefinisikan kepentingan publik, barang publik dan menentukan pilihan-pilihan kebijakan atau tindakan secara bertanggungjawab.

Old and New Public Administration (Denhradt)
• Dapat dipetakan posisi etika dimana
• Tabel perbedaan here!!
aliran pemikiran etika
• Teori Empiris: etika diambil dari pengalaman dan dirumuskan sebagai kesepakatan
• Teori Rasional: manusia menentukan apa yang baik dan buruk berdasar penalaran atau logika.
• Teori Intuitif: Manusia secara naluriah atau otomatis mampu membedakan hal yang baik dan buruk.
• Teori Wahyu: Ketentuan baik dan buruk datang dari Yang Maha Kuasa.
Hukum dan Etika
• Keduanya mengatur perilaku individu
• Terdapat perbedaan: ilegalitas tidak selalu berarti tidak etis
• Hukum bersifat eksternal dan dapat ditegakkan tanpa melibatkan perasaan, atau kepercayaan orang (sasaran hukum), sementara etika bersifat internal, subyektif, digerakkan oleh keyakinan dan kesadaran individu.
• Hukum dalam konteks administrasi adalah soal pemberian otoritas atau instrumen kekuasaan
• Basis dari hukum adalah etika, dan ketika hukum diterapkan harus dikembalikan pada prinsip-prinsip etika
• Banyak kasus, secara hukum dibenarkan tapi secara etika dipermasalahkan [trend anak politisi yang jadi calon anggota legislatif]
Debat Herman Finer Vs. Carl Friedrich
• Finer (1936): Untuk menjamin birokrasi yang bertanggungjawab yang diperlukan adalah penegakan sistem kontrol melalui undang-undang dan peraturan yang dapat mendisiplinkan para pelanggar hukum.
• Friedrich (1940): Birokrasi yang bertanggungjawab hanya bisa ditegakkan dengan dengan menseleksi orang yang benar dengan kriteria profesionalisme yang jelas, dan mensosialisasikannya ke dalam nilai-nilai pelayanan public
Etika profesi
• Nilai benar-salah dan baik-buruk yang terkait dengan pekerjaan profesional
• Nilai-nilai tersebut terkait dengan prinsip-prinsip profesionalisme (kapabilitas teknis, kualitas kerja, komitmen pada profesi)
• Dapat dirumuskan ke dalam kode etik profesional yang berlaku secara universal
• Penegakan etika profesi melalui sanksi profesi (pencabutan lisensi)
Kenapa diperlukan peraturan etika?
• Untuk meredam kecenderungan kepentingan pribadi.
• Etika bersifat kompleks, dalam banyak kasus bersifat dilematis, karena itu diperlukan yang bisa memberikan kepastian tentang mana yang benar dan salah, baik dan buruk.
• Penerapan peraturan etika dapat membuat perilaku etis menimbulkan efek reputasi.
• Organisasi publik sekarang banyak dicemooh karena kinerjanaya dinilai buruk, karena itu perlu etika.
Kenapa perilaku tidak etis terjadi?
• Kecenderungan mengedepankan etika personal ketimbang etika yang lebih besar (sosial).
• Kecenderungan mengedepankan kepentingan diri sendiri
• Tekanan dari luar untuk berbuat tidak etis.
PENGERTIAN ETIKA PROFESI
Pengertian Profesi
• Profesi
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan (occupation) yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetapi belum tentu dikatakan memiliki profesi yang sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup untuk menyatakan suatu pekerjaan dapat disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan penguasaan teknik intelektual yang merupakan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek.
Pengertian Profesi
• Ciri sebuah profesi adalah: (Sulistyo-Basuki, 2001)
• Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah profesi
• Pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan.
• Tenaga yang terlatih mampu memberikan jasa yang penting kepada masyarakat.
• Adanya proses lisensi atau sertifikat.
• Adanya organisasi.
• Otonomi dalam pekerjaannya
Etika dan Etiket
• Etika berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai ethics dan etiquette.
• Antara etika dengan etiket terdapat persamaan yaitu:(Sulistyo-Basuki, 2001) :
(a) etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah tersebut dipakai mengenai manusia tidak mengenai binatang karena binatang tidak mengenal etika maupun etiket.
(b) Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yag harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilkukan. Justru karena sifatnya normatif maka kedua istilah tersebut sering dicampuradukkan.
Etika dan Etiket
• Adapun perbedaan antara etika dengan etiket ialah: (Sulistyo-Basuki, 2001)
(a) etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etiket menunjukkan cara yang tepat artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam sebuah kalangan tertentu. Misalnya dalam makan, etiketnya ialah orang tua didahulukan mengambil nasi, kalau sudah selesai tidak boleh mencuci tangan terlebih dahulu. Di Indonesia menyerahkan sesuatu harus dengan tangan kanan. Bila dilanggar dianggap melanggar etiket.Etika tidak terbatas pada cara melakukan sebuah perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
(b) Etiket hanya berlaku untuk pergaulan. Bila tidak ada orang lain atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya etiket tentang cara makan. Makan sambil menaruh kaki di atas meja dianggap melanggar etiket bila dilakukan bersama-sama orang lain. Bila dilakukan sendiri maka hal tersebut tidak melanggar etiket. Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain. Barang yang dipinjam harus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa.
(c) Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuah kebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contohnya makan dengan tangan, bersenggak sesudah makan. Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti “jangan berbohong”, “jangan mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
(d) Etiket hanya memadang manusia dari segi lahirian saja sedangkan etika memandang manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur katanya lembut, memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiket namun munafik sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidak mungkin munafik karena seandainya dia munafik maka dia tidak bersikap etis. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik.
Pengertian Etika Profesi
• Etika Profesi
Berkaitan dengan bidang pekerjaan yang telah dilakukan seseorang sangatlah perlu untuk menjaga profesi dikalangan masyarakat atau terhadap konsumen (klien atau objek). Dengan kata lain orientasi utama profesi adalah untuk kepentingan masyarakat dengan menggunakan keahlian yang dimiliki. Akan tetapi tanpa disertai suatu kesadaran diri yang tinggi, profesi dapat dengan mudahnya disalahgunakan oleh seseorang seperti pada penyalahgunaan profesi seseorang dibidang komputer misalnya pada kasus kejahatan komputer yang berhasil mengcopy program komersial untuk diperjualbelikan lagi tanpa ijin dari hak pencipta atas program yang dikomersilkan itu. Sehingga perlu pemahaman atas etika profesi dengan memahami kode etik profesi.
Prinsip-Prinsip Etika
1. Prinsip tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya
terhadap dampak pekerjaab terhadap orang lain
2. Prinsip keadilan, tidak merugikan; membedakan orang lain.
Prinsip-Prinsip Etika Profesi
3. Prinsip Otonomi.
Kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya, tetapi dibatasi tanggungjawab dan komitmen profesional dan tidak mengganggu kepentingan umum.
4. Prinsip integritas moral yang tinggi.
Komitmen pribadi menjaga keluhuran profesi.
Prinsip Umum Etika Bisnis
Prinsip etika bisnis sangat dipengaruhi sistem nilai dalam masyarakat,
Secara umum dalam bisnis sesungguhnya penerapan prinsip etika pada umumnya.
Prinsip Umum Etika Bisnis
• Prinsip Otonomi bahwa seseorang dituntut memiliki sikap dan kemampuan untuk mengambil keputusan
Prinsip Umum Etika Bisnis
• Dalam bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik;
• Mengetahui akan tindakannya,
Prinsip Umum Etika Bisnis
• Bebas dalam melakukan tindakannya, dan
• Bertanggungjawab atas tindakannya.
Prinsip Umum Etika Bisnis
• Prinsip menjunjung kejujuran, kunci keberhasilan dalam bisnis Kejujuran relevan dengan memenuhi
syarat-syarat perjanjian
Relevan dengan penawaran barang & jasa, dengan mutu dan harga
Prinsip Umum Etika Bisnis
3. Prinsip Keadilan, agar setiap org diperlakukan secara sama sesuai dg aturan yg adil, rasional objektif dan dpt dipertanggungjawabkan.
4. Prinsip Saling Menguntungkan (mutual benefit principle)
5. Prinsip Integritas Moral, tuntutan menjaga nama baiknya/perusahaannya.
Individu sebagai diffusion Etika Bisnis
• Individu yang telah menyerap/mengerti etika bisnis, yang diperoleh melalui proses belajar (individual learning),
• Individu memiliki :
kemampuan
kesadaran etis,
berfikir secara etis,
bertindak secara etis,
kepemimpinan secara etis.
Individu sebagai diffusion Etika Bisnis
2 Individu yang memiliki kharisma.
3. Individu yang memiliki kekuasaan, sepanjang menggunakan kekuasaan secara etis.
Sejarah dan Budaya dalam Etika Bisnis
• Kebudayaan Yunani Kuno, Warga Negara yang bebas seharusnya mencurahkan perhatiannya pada kesenian dan ilmu pengetahuan (filsapat).
• Perdagangan sebaiknya diserahkan pada orang asing dan pendatang.

• Menurut Plato (427-347 SM) Negara yang ideal adalah negara agraris yang sedapat mungkin berdikari, sehingga perdagangan hampir tidak perlu.
Sejarah dan Budaya dalam Etika Bisnis
• Aristoteles (384-322 SM) ia menilai sebagai tidak etis setiap kegiatan menambah kekayaan.
• Karena bisnis selalu mengandung unsur mencari keuntungan. Hermes dihormati sebagai dewa pelindung pedagang maupun pencuri
Sejarah dan Budaya dalam Etika Bisnis
• Agrama Kristen, “Jangan kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu (Ibr. 13:15).
• Pada zaman kuno dan abad pertengahan profesi pedagang sering dinilai kurang pantas, dan karenanya urusan itu diserahkan pada orang Yahudi.
Sejarah dan Budaya dalam Etika Bisnis
• Agustinus (354-340 M) mengatakan, seorang pedagang barang-kali bisa berkelakuan tanpa dosa, tapi tidak mungkin dia berkenan di hati Tuhan.
• Timbul sikap positif kaum Protestan, memperoleh untung karena berdagang sebagai pertanda berkat Tuhan atas kerja keras orang beriman.
Sejarah dan Budaya dalam Etika Bisnis
• * The Merchant of Venice, Karya William Shakespiare, figur Shylock (orang Yahudi)
Yang mewakili type saudagar yang tidak segan-segan memeras orang lain.
sejarah dan budaya..
• Agama Islam. Memandang Binsis lebih realistis. Dalam Surah Al Baqarah 275: “ ALLAH telah menghalalkan perdagangan dan melarang Riba”.
• Dalam bahasa Arab Riba: tambahan uang tidak wajar atas utang yang dipakai untuk konsumsi .
Sejarah dan budaya..
• Moch. Hatta.
• Membedakan antara riba dan rente, riba dilarang karena menyengsarakan orang,
• Rente adalah imbalan untuk pinjaman yang digunakan usaha produktif (businesslike).
Sejarah dan Budaya
• Kebudayaan Jawa. Contoh: Masy Pare/Mojokuto(1950) dari C. Geertz.
Struktur sosial ada 4 gol:
1. Priyayi,
2. Para pedagang pribumi,
3. Orang kecil sebagai buruh tani/tukang
4. Orang Cina..
Sejarah dan Budaya
• Priyayi berkerja di bidang pemerintahan, sedikit pegang fungsi pabrik2 kecil.
• Golongan ini membentuk elit politik dan kultural yang menjauhkan diri perdagangan.
Sejarah dan Budaya
• Golongan pedagang pribumi, muslim/ada berdarah Arab (sodagar) bersama orang Cina menjamin perputaran ekonomi
Sejarah dan Budaya
• Religion of Java karya Clifford Geertz,
• bagaimana memiliki kekayaan, dan terutama memiliki kekayaan secara mendadak ? Bantuan Tuyul ?
• Dengan ciri perilaku:
• kaya mendadak,
• kikir,
• pakain buruk,
• mandi dikali,
• tidak makan nasi tapi ubi/jagung, dan
• mereka berperilaku agak menyimpang dari priyayi,
- bicara keras2,
- agresif,
- kurang beradat,
- pakaian kedodoran,
- kurang bersifat jawa,
- spontan mengatakan apa adanya.
• Dalam tradisi kebudayaan jawa kekayaan ternyata dicurigakan.
• Padangan ini tidak kondusif untuk memajukan semangat kewirausahaan.
Sejarah dan Budaya
• Sikap modern
Pencarian untung menjadi motif utama bagi bisnis, dengan sendirinya bahwa bisnis mengejar kepentingan diri sendiri dan disamakan dengan egoisme sebagai sikap tidak baik dari sudut moral. Hal ini bertentangan dengan altruisme adalah sifat watak yang memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain. Bagaimana mencari jalan tengah? Sehingga bisnis menjadi bukan pekerjaan kotor ?---à etika